Showing posts with label cerita dan motivasi guru. Show all posts
Showing posts with label cerita dan motivasi guru. Show all posts

Wednesday, 6 January 2016

Peristiwa Kecil


Membaca catatan pinggirnya Goenawan Mohamad tentang "peristiwa kecil" kemerdekaan Republik Indonesia seperti memberi saya sengatan listrik. Tujuh belas Agustus sebagai hari kemerdekaan dalam bayangan saya adalah peristiwa besar yang gegap gempita oleh teriakan merdeka, gemuruh semangat serta kirap ribuan orang menyambut hari bahagia. Tapi ternyata tidak, Goenawan Mohamad menyebutnya "peristiwa kecil" karena memang hari itu, di depan sebuah gedung di Jalan Pegangsaan, hanya ada beberapa orang yang mendengarkan  Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Teks itupun tak lebih dari selembar kertas dengan beberapa coretan karena perubahan konsep.

Peristiwa kecil namun teramat berharga. Ribuan bahkan jutaan orang di tanah pertiwi setelah itu dengan suka rela mengorbankan jiwa mereka untuk mempertahankan makna dari peristiwa kecil itu. Indonesia terus bergolak, berganti penguasa dan terkadang harus mengalami kejatuhan korban di beberapa persimpangan sejarahnya. Namun tekad untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan tidak pernah pudar.

Lantas untuk siapa sebenarnya kemerdekaan yang tak henti kita perjuangkan? Apakah Soekarno-Hatta membacakan proklamasi untuk diri dan kelompok mereka saat itu? Atau untuk gemerlap kekayaan? Pasti, dan kita yakin, bukan! Kemerdekaan adalah suatu cita-cita yang selama ratusan tahun mengendap di hati para pemimpin karena milihat penderitaan rakyat dengan jiwa terjajah dan sebagai hamba di tanah sendiri. Kemerdekaan itu diperuntukkan bagi generasi penerus, anak-anak dengan jiwa yang bersih dan haus akan kasih sayang dan pendidikan. Mereka tidak ingin melihat anak-anak yang terus menghamba, bodoh, dan menderita di tanah kaya nenek moyangnya sendiri.

Saat ini, sering kita meremehkan hal-hal kecil yang bermakna besar. Terbius oleh gemerlap lampu-lampu kota dan acara televisi yang membingungkan orientasi manusia. Seperti ketika ibu-ibu yang mengeluh karena hanya menjadi ibu rumah tangga, mengurusi anak-anak tanpa penghasilan dan gelar profesional. Atau juga para teman guru di daerah terpencil yang sedih karena melihat anak-anak yang sangat sulit belajar. "Kenapa saya hanya melakukan hal-hal rutin yang tidak penting ini setiap hari?"

Penjajah adalah segala sesuatu yang membelenggu jiwa kita hingga tidak memiliki kemerdekaan untuk melihat yang subtansial. Bodoh dari kebenaran. Ia tidak hanya Portugis, Belanda atau Jepang yang membawa senjata lengkap dan menodongkannya ke kepala kita. Penjajah tidak harus orang asing. Demikian pula pahlawan bukan hanya orang-orang yang memanggul senapan atau bambu runcing dan merelakan dadanya tertembus peluru musuh. Siapapun yang berjuang demi kemerdekaan jiwa anak-anak dalam menghadapi kebodohan, rendah diri, putus asa dan malas adalah pahlawan yang sebenarnya di zaman ini. Termasuk ibu rumah tangga, guru, petani, buruh, tukang becak, pedagang hingga pejabat yang jujur.

Kalau saja kita benar-benar mengalami sendiri bagaimana pengorbanan jutaan jiwa demi "peristiwa kecil" di bulan Agustus, paradigma kita mengenai mendidik anak akan benar-benar berubah. 

Thursday, 31 December 2015

Siapa yang Patut Bersyukur?


Sudah umum jika orang tua dan guru menjadi sosok yang dianggap penuh jasa. Rela berkorban banyak hal untuk kepentingan anak-anak dan siswa mereka. Sepertinya tidak ada yang bakalan menyangkal mengenai kewajiban anak dan siswa untuk menghormati dan berterima kasih atas semua jasa dan pengorbanan yang telah mereka dapatkan. 

Orang tua dan guru sering kali menjadi ge er, terlalu percaya diri dan membanggakan diri atas jasa-jasanya untuk merawat, mendidik dan mengayomi anak-anak. Padahal orang yang terlalu percaya diri ujung-ujungnya adalah lupa diri dan tidak bersyukur atas sesuatu yang telah diterimanya. Orang tua dan guru merasa sebagai pihak yang selalu memberi, itulah permasalahannya.

Mari kita sedikit memutarbalikkan cara berpikir yang mungkin selama ini menjadi penghuni ruang kepala kita. Kita sebagai guru dan orang tua memang mendidik dan merawat mereka, namun apakah kehadiran mereka memang semata-mata menjadi beban? Jika anda berpikir seperti mesin atau robot maka jawabannya ya. Tapi jika anda seorang manusia dengan perasaan dan matakognisi maka jawabnnya pasti tidak. Jujur saja!

Bersama anak-anak kita dapat merasakan senyum, tawa dan kebahagiaan yang lepas tanpa pamrih. Hanya dari tingkah polah dan bicara mereka kita mendapatkan suatu penawar atas ketegangan hidup yang penuh masalah. Menceritakan bagaimana "kenakalan" sehari-hari anak-anak memang kadang menimbulkan jengkel, namun sebenarnya lebih banyak tawa di dalamnya. Karenanya banyak guru yang merasa tidak bisa berhenti mengajar. Juga orang tua tidak bisa lepas dari anak-anak mereka. Suami dan istri menjadi lebih dekat dan awet karena perbincangan-perbincangan mengenai kelucuan, keanehan, kreativitas atau bahkan kenakalan buah hati mereka.

Memperhatikan tingkah polah dan tumbuh kembang anak sebenarnya memberi kita cermin, tentang bagaimana kita sebagai manusia selalu berawal dari kondisi seperti itu. Butuh bimbingan dan perlindungan. Membuat kita sadar akan kesalahan-kesalahan lampau. Juga memberi ide yang brillian akan suatu kehidupan yang baru di masa depan. Memberi para orang tua semangat untuk terus hidup, berjuang dan menjadi manusia yang lebih baik.

Kejujuran anak-anak adalah permata yang senantiasa berkilau di sudut-sudut hati kita para guru dan orang tua. Keberadaan mereka adalah amanah dan wujud kepercayaan Tuhan kepada kita para orang dewasa.

Kita harus berterima kasih karena memiliki orang tua dan guru dengan limpahan kasih sayang yang menumbuhkan keberanian dan kebaikan untuk hidup. Tapi kita juga harus lebih banyak berterima kasih atas kehadiran serta senyum anak-anak dan siswa di sekeliling kita.

Wednesday, 23 December 2015

Seperti Cahaya


Mendampingi para mahasiswa berkemah di pantai membuat saya dapat menikmati dengan jelas taburan bintang yang memenuhi langit malam. Begitu mengagumkan. Hal itu tidak mungkin dapat ditemui di desa atau kota yang saat ini telah terang benderang oleh lampu-lampu listrik. 

Teringat saat kecil dulu, bagaimana saya dan teman-teman sering berkumpul dan bermain di halaman atau lapangan saat malam. Gelap (karena lampu jalanan saat itu masih sangat jarang) justru menjadi teman yang membuat permainan kami tambah seru. Perubahan pada bulan, bintang-bintang dan hamparan langit sangat kami ketahui juga karena listrik belum benar-benar menjadi budaya. Beberapa lagu rakyat di banyak daerah dengan jelas menunjukkan bagaimana kedekatan anak-anak dengan langit malam di zaman tradisional. 

Contoh potongan lagu masa kecil saya dulu, "Ghei' bintang ale' ghagghar bulen .."  yang artinya kira-kira: Mari unduh bintang adikku, tapi yang jatuh kok bulan? Dalam lagu anak-anak Madura tersebut tergambar bahwa bintang dan bulan adalah teman-teman bermain mereka di malam hari. 

Cahaya bintang dan bulan di zaman sekarang telah tertutupi oleh lampu-lampu jalanan yang semakin marak. Apalagi memang tempat bermain anak-anak adalah ruang di dalam rumah yang terang benderang oleh listrik dan pancaran sinar TV atau media elektronik yang lain. Dunia manusia sekarang adalah dunia kecil yang mereka ciptakan sendiri. Anak-anak rasanya semakin jauh dari keagungan alam raya yang membesarkan hati.

Cahaya membuat kita dapat melihat benda dan membaca hingga tidak salah kalau Ibnu Sina mengatakan bahwa ilmu Allah terpancar menghampiri kita melalui cahaya. Jika guru juga bertugas untuk menghantarkan ilmu Allah kepada para siswanya, maka para guru juga seperti cahaya bulan atau bintang. Nasibnya juga mirip. Perkembangan media dan teknologi informasi begitu gemerlap sehingga cahaya kasih sayang para guru semakin jarang terasa oleh anak-anak. Pikiran dan hati anak-anak lebih dominan diisi oleh acara televisi, gaya hidup artis, dan berbagai permainan canggih dari dunia on line.

Menjadi bulan dan bintang di saat sekarang memang lebih banyak terabaikan. Bahkan seringkali disalah-pahami. Sering kita dapatkan lampu-lampu jalanan yang ber-merk bintang bulan. Padahal malam di zaman ini semakin panjang.

Monday, 14 December 2015

Belajar pada Perilaku Anjing


Masih teringat betul peristiwa saat itu, yaitu pertama kali mendapatkan kuliah mengenai teori psikologi perilaku. Bagaimana ilmuwan pelopornya, Ivan Pavlov, mempelajari perilaku anjing dan mencetuskan teori pengkondisian klasik. Salah seorang teman nyeletuk pelan, "kita manusia kok disuruh belajar pada perilaku anjing ya?" Teman-teman tersenyum karena lucu. Untunglah dosen tidak mendengarnya.

Pikiran saya tersentuh oleh ucapan lucu teman itu. "Benar juga, kita manusia kok mau-maunya menerapkan teori yang diambil dari perilaku hewan." Kehidupan manusia lebih kompleks dibandingkan hewan. Apalagi hanya manusia yang diberi karunia akal pikiran. Bagaimana mungkin kita yang berakal justru belajar pada hewan yang tidak berakal budi? Apalagi anjing yang menjadi ikon sumpah serapah keburukan. Saya merasa bahwa teori itu tidak benar. 

Namun karena yang diajarkan dosen pasti masuk ujian, toh saya harus mempelajari teori itu juga.

Beberapa waktu kemudian saya teringat pada kisah anjing Ashabul Kahfi yang dijanjikan Allah masuk surga. Pelan-pelan saya juga membaca betapa Allah tidak malu untuk menyebutkan hewan-hewan dalam wahyunya, terutama ditujukan bagi kita manusia agar dapat belajar memetik hikmah. Kesombongan sebagai manusia, makhluk yang paling mulialah, yang membuat semua ayat di alam akhirnya tidak dapat kita baca.

Jika dulu saya sempat meragukan temuan pavlov akan hikmah dari perilaku anjing, kini tidak lagi. Saya telah teryakinkan bahwa semua makhluk di alam memiliki tanda keagungan yang dapat kita pelajari untuk memperkaya pribadi dan wawasan. Jika makhluk lain saja dapat menjadi "guru," apalagi manusia. 

Dari peristiwa anjing pavlov saya jadi belajar, bahwa proses belajar yang baik membutuhkan pikiran yang terbuka. Logikanya sederhana, karena belajar tujuannya untuk meningkatkan kualitas diri, maka jika kita merasa tinggi secara otomatis pikiran tertutup dari berbagai pelajaran yang kita anggap tidak penting. Yang saya cari saat ini adalah bagaimana membuka pikiran siswa agar mau belajar, bukan karena terpaksa. Betapa luar biasa jika kita para guru sanggup melakukannya.

Alam raya begitu luas hingga tak seorang ilmuwan pun yang sanggup membayangkan keluasannya. Keagungannya tidak hanya terlihat ketika menjadi kesatuan yang maha luas, tetapi pada setiap butir partikelnya pun telah demikian sempurna. Kita hanya perlu membuka mata dan pikiran untuk mempelajari dan menghayati semua itu. Jangan pernah tertutup, kecuali memang sudah tiba waktunya.

Thursday, 10 December 2015

Ego Sebagai Guru


Albert Einstein kecil adalah seorang anak dengan keingintahuan yang sangat besar. Kerena faktor itulah ia sering melanggar disiplin dan "mengganggu" guru-guru dengan berbagai pertanyaan aneh hingga akhirnya dikeluarkan. Ibu kandung Thomas Alva Edison adalah figur orang tua pendidik yang sangat sabar. Karena dikeluarkan dari sekolah, akhirnya sang ibu mengajari Thomas berbagai keterampilan dan pengetahuan yang harusnya diperoleh anak-anak di sekolah.

Kedua tokoh besar di atas adalah orang-orang yang karir di sekolahnya tidak bagus.  Namun toh kesuksesan mereka di bidang ilmu pengetahuan benar-benar luar biasa. Rasanya tidak ada orang yang tidak kenal nama kedua tokoh tersebut.

Sebagai guru, sering saya dihinggapi oleh perasaan tentang pentingnya peran saya bagi pendidikan dan perkembangan keilmuan para siswa atau mahasiswa. Mungkin hal ini juga anda alami. Senang melihat anak-anak yang penurut dan pandai. Sebaliknya, sebel dan kecewa melihat mereka yang sulit diatur dan tidak memahami pelajaran. Ada perasaan bahwa kerja keras kita untuk menyiapkan pelajaran hingga mengajarkannya di kelas menjadi sia-sia. Ya, itulah guru.

Semua itu memang merupakan wujud kepedulian sebagai guru. Sah dan baik-baik saja selama perasaan tersebut tidak tumbuh menjadi sikap bahwa semua prestasi siswa adalah karena "saya." Pada level ini guru akan menjadi kurang introspektif akan kesalahan-kesalahan dan kelemahan yang mungkin masih banyak ia miliki. Kadang juga saya temui guru yang mendongkrak nilai secara berlebihan karena pandangan salah bahwa nilai bagus siswa menunjukkan sepenuhnya kualitas guru. 

Mengajar para mahasiswa di perguruan tinggi membuat saya mengetahui betapa banyak pengetahuan selama belajar di sekolah yang mahasiswa lupakan. Yang tersisa biasanya adalah yang terus digunakan. Jadi, ilmu pengetahuan, sikap atau keterampilan yang kita ajarkan pada akhirnya akan dilupakan jika tidak siswa gunakan. Kita para guru hanya perantara atau penyampai saja. Keberadaan ilmu pada diri siswa ditentukan oleh keinginan dan usaha mereka sendiri. Dan hidayah Tuhan semesta alam tentu saja.

Tugas terberat guru pada akhirnya adalah menumbuhkan dan memberi contoh tentang semangat belajar. Karena melalui semangat itulah siswa dapat mempertahankan dan bahkan mengembangkan berbagai memori belajar bersama kita para gurunya.

Friday, 4 December 2015

Mi Instan, Realitas Perjuangan Calon Guru


Jas almamater, potongan rambut dan senyum para mahasiswa calon guru memang meyakinkan. Ditambah lagi gaya bicara yang menunjukkan wawasan serta idealisme khas cendekiawan muda. Tapi semua juga tahu kalau para mahasiswa calon guru, terutama yang nge-kost, seringkali kurang makan. Kebutuhan-kebutuhan tak terduga, baik kebutuhan akademik ataupun non akademik, akhirnya membuat jatah makan menjadi menipis.

Mi instan sangat populer di kalangan mereka. Memang, mi instan termasuk salah satu makanan terkenal di Indonesia, namun di kalangan mahasiswa ketenarannya benar-benar luar biasa. Murah, praktis, dan enak menjadi alasannya, walau sedikit tidak mengenyangkan. Berbagai literatur telah menyebutkan bahaya mengonsumsi mi instan terlalu sering, mulai dari gangguan pencernaan, hati, diabetes, maag hingga kanker. Tapi bagaimana lagi, dalam kondisi darurat mi instan tetap menjadi pilihan paling realistis.

Kesulitan mahasiswa calon guru untuk memenuhi kebutuhan perut adalah romantisme yang sudah berlangsung sejak zaman dulu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka saling membantu. Ketika salah seorang kehabisan uang bahkan mi instan pun tak sanggup dibeli, hidup terus berlanjut dengan cara nebeng nasi bungkus teman-temannya. Masak nasi plus mi dan kerupuk untuk dimakan rame-rame juga menjadi salah satu kreativitas mereka. 

Kesulitan-kesulitan itu juga yang mengikat hati mereka para mahasiswa. Pertemanan semasa mahasiswa sulit dicari bandingannya, tak pernah terlupa seumur hidup. Bahkan ketika mereka telah terpisah jauh dengan profesi masing-masing, pertemanan itu masih kuat. Hubungan antar rekan kerja selama puluhan tahun seringkali tidak bisa mengalahkan kebersamaan selama empat atau lima tahun di masa-masa sulit menjadi mahasiswa. Tentu yang tidak menjadi anak kost agak kurang merasakan dramatisnya hal ini.

Putaran roda kehidupan membawa setiap manusia melalui nasibnya masing-masing. Hanya kenangan yang kita bawa. Kesulitan-kesulitan saat belajar tidak pernah menimbulkan penyesalan, karena justru para mahasiswa yang sering kurang makan dan banyak tugas itulah yang biasanya dapat tertawa lepas dan ceria sepanjang hari. Permasalahan hanya sekilas menampakkan wujudnya di wajah. Kesulitan-kesulitan itu juga yang menghasilkan persaudaraan tanpa harus benar-benar bersaudara. 

Dalam situasi sulit namun penuh ilmu, seseorang akan lebih maksimal bahkan menggila dalam mencapai mimpi-mimpi. Oleh karena itu para mahasiswa calon guru, tak perlu risau dengan semua kesulitan yang kalian hadapi. Di situlah kalian akan benar-benar merasakan bagaimana berproses menjadi manusia, sebelum esok menjadi guru yang bertugas memanusiakan manusia.

Wednesday, 2 December 2015

Calon Guru Ketinggalan Kereta


Tugas akhir yang harus dihadapi oleh mahasiswa calon guru di jenjang pendidikan S1 adalah melakukan sebuah riset atau penelitian. Program ini biasanya hanya sekitar 6 SKS dari 144 SKS yang harus ditempuh mahasiswa untuk dapat lulus atau kira-kira hanya 4% saja. Namun beban dan kesibukannya betul-betul berkesan, mungkin banyak yang menganggapnya lebih menyulitkan dari 96% kegiatan kuliah yang lain.

Kondisi tersebut tidak lepas dari tanggung jawab yang dibebankan. Jika pada aktivitas kuliah lain, tanggung jawab masih dominan di tangan dosen, maka pada penelitian tugas akhir 80% tanggung jawab berada di tangan mahasiswa. Mereka dilatih mandiri menjadi calon guru sekaligus ilmuwan. Berbagai teori dan kajian ilmiah yang telah dipelajari sebelumnya ditumpahkan dan diuji kebermaknaannya dalam proses penelitian. 

Tanggung jawab keilmuan dalam tugas penelitian memang berat. Namun seringkali yang membuat calon guru stres, hilang semangat dan terbebani begitu berat adalah urusan-urusan administratif baik di sekolah atau kampus, manajemen waktu, pengaturan komunikasi dengan dosen pembimbing atau guru kelas, kesabaran serta ketelitian dalam menghadapi kerumitan yang tidak terduga. 

Para calon guru yang menempuh tugas akhir biasanya akan menjadi lebih dekat satu sama lain. Mereka saling mengingatkan, memberi tahu, memberi semangat dan juga menanamkan kesabaran ketika permasalahan pelik menimpa. Kesatuan di antara sesama calon guru dalam tugas akhir ibaratnya seperti gerbong kereta yang membuat kesulitan dan tekanan dalam aktivitas ilmiah tersebut lebih mudah dilalui. Jika ada calon guru yang terlambat menyelesaikan tugas akhir, biasanya akan menjadi lebih lama dan terasa sulit. Penyebabnya adalah mereka telah ketinggalan gerbong kereta seperti dalam cerita di atas.  

Kejadian tersebut tampaknya juga dialami oleh guru di sekolah. Berbagai tugas keguruan baik ketika berhadapan dengan siswa secara langsung ataupun tugas administratif yang rumit dan meminta kesabaran, akan lebih mudah dilalui ketika guru berada dalam gerbong kesatuan antara guru, struktur sekolah apalagi orang tua. Gerbong-gerbong kereta ini tidak terlihat, namun memiliki daya bantu yang sangat besar. Jadi, bangunlah gerbong-gebong itu di sekolah anda dan jangan sampai ketinggalan.

Sunday, 29 November 2015

Cerita Lama tentang Tugas Guru


Salah satu tugas berat guru, terutama akhir-akhir ini dirasa semakin berat, adalah mengajarkan moral. Berbagai kemajuan di bidang teknologi informasi memang sangat membantu guru untuk mengajarkan ilmu pengetahuan atau keterampilan tertentu. Namun dari aspek moral, kecepatan informasi yang sulit diberi batas-batas membuat guru seolah kalah saing. Berbagai nilai hidup sangat mudah memasuki pribadi siswa, sementara nilai-nilai dari guru terasa sangat lambat untuk dicerna.

Sesungguhnya tugas berat guru mengajarkan nilai-nilai moral kepada para siswanya adalah cerita lama yang selalu berulang di sepanjang sejarah kebudayaan manusia. Nasehat dan teladan guru adalah kuno seperti layaknya tetes hujan dan angin. Tidak pernah berubah. 

Ada cerita bijak mengenai bagaimana ternyata tetes air yang kecil dan lemah ternyata mampu mengalahkan batu padas yang tingkat kekerasannya jauh dibandingkan dengan zat lain, apalagi hanya tetes air. Tetes demi tetes air yang ternyata mampu melubangi padas adalah hasil dari kesabaran melalui waktu dan rutinitas yang seolah tanpa arti. Seperti itulah kiranya tugas guru.

Padas yang keras melambangkan kekuatan zaman yang semakin membuat kita takut akan keberhasilan pendidikan menumbuhkan nilai-nilai kebaikan di hati generasi muda. Namun tanggung jawab sebagai guru membuat kita tidak memiliki pilihan lain. Rutinitas dan kesabaran untuk memberi nasehat dan teladan kepada siswa adalah resep purba yang harus tetap diteteskan di atas kerasnya kedirian mereka. 

Hal lain yang juga penting untuk kita ingat sebagai guru adalah proses pembelajaran pada intinya adalah bimbingan dan arahan dengan berbagai cara. Namun inti dari belajar adalah kesadaran dan keaktifan siswa. Jika para guru memberi mereka tanggung jawab, seiring dengan usia, untuk mengembangkan diri sesuai dengan tantangan zaman, bisa jadi mereka dapat lebih menyerap nilai yang guru ajarkan. Tut wuri handayani

Saturday, 28 November 2015

Guru yang Gagal


Ada sebuah iklan di televisi yang berbunyi, "buat anak kok coba-coba!" Rasanya semua setuju dengan ungkapan sederhana tersebut. Untuk anak haruslah yang terbaik, jangan coba-coba. Kata coba-coba memang memiliki konotasi yang buruk. Ia melambangkan perbuatan yang tidak pasti hasil dan akibatnya. Tanpa perencanaan dan pengetahuan sebelum melakukannya.

Beralih dari konotasi kata coba-coba atau mencoba di atas, sebenarnya sebagian besar belajar terjadi melalui proses coba-coba. Ketika mempelajari sesuatu yang baru atau sedang memecahkan suatu permasalahan, kita tak pernah dapat memastikan hasil dari upaya yang kita lakukan. Dibutuhkan keberanian untuk mencoba. Namun tentu saja mencoba yang baik adalah yang dilandasi pertimbangan, persiapan dan juga evaluasi pada tiap langkahnya. Thorndike menyebutnya trial and error. Kegagalan pada proses seperti ini hanyalah batu-bata untuk pengetahuan dan hasil yang lebih baik.

Anak-anak umumnya memiliki keberanian alami untuk mencoba. Namun seiring dengan keluasan berpikir dan pengetahuan akan dampak-dampak perilaku, pelan-pelan keberanian tersebut menipis dan menghilang. Inilah yang banyak dialami oleh para guru, seperti juga halnya saya. Setiap guru memiliki mimpi-mimpi mulia akan anak-anak didik dan kehidupan di sekolahnya. Saya yakin guru juga memiliki banyak ide untuk mewujudkan mimpi itu. Berinovasi dalam pembelajaran, ide baru untuk manajemen sekolah, mimpi untuk menguasai teknologi baru dan banyak lagi. Namun takut gagal.

Apakah kegagalan ketika mencoba benar-benar merupakan sesuatu yang memalukan? Mungkin ada masyarakat yang memiliki pandangan seperti itu. Bergosip atau mencibir saat anda melakukan kebaikan yang baru. Tapi sesungguhnya itu adalah ujian awal dari kesungguhan anda. Ketika mereka melihat kesungguhan dan komitmen anda, maka sebagian besar pandangan menyepelekan tersebut akan berubah menjadi lebih serius dan bahkan kagum. Kesalahan-kesalahan yang anda alami harusnya dapat memperbaiki diri anda. Lebih-lebih, kemauan anda untuk mencoba itu akan menulari siswa-siswa, itulah kebaikan terbesarnya.

Jika ada guru yang gagal, saya rasa bukan pada mereka yang mengalami kegagalan dan kegagalan lagi dalam mewujudkan mimpi untuk kebaikan. Guru gagal adalah yang justru tidak pernah gagal karena memang tidak pernah mencoba. Semoga bermanfaat!

Friday, 27 November 2015

Berkah Usia Guru


Mengantar para mahasiswa, calon guru, KKN ke pulau kecil Sumenep memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Ombak besar yang harus diterjang oleh perahu motor membuat kami membayangkan bagaimana susahnya menjadi guru di daerah kepulauan. Kekaguman akan kebesaran alam tenggelam dalam rasa takut akan tingginya ombak yang kadang meluap lebih tinggi dari atap perahu yang kami tumpangi.

Tidak bisa disalahkan jika sebagian besar guru yang diangkat di kepulauan pada akhirnya, beberapa tahun setelah itu, mengajukan pindah ke daratan Sumenep. Hanya satu dua orang guru yang sanggup mengabdi selama puluhan tahun sampai usia sepuh. Interaksi dan dialog dengan guru-guru senior tersebut memberi saya pelajaran. Meski dalam bidang keilmuan dan teknologi tidak ada sesuatu yang baru, namun berkah usia memberi mereka hikmah-hikmah yang tidak mungkin dapat kita temui di buku atau software apapun.

Salah satu guru senior memaparkan kisahnya sebagai pengajar di pulau. Pahit getir kehidupan pulau pada aspek ekonomi, sarana-prasarana hingga kondisi alam yang ganas menjadi drama dalam setiap narasi yang beliau paparkan. Belum lagi kondisi sosial yang sangat tidak mendukung sekolah. Rata-rata masyarakat di pulau tersebut adalah perantau yang meninggalkan anak-anak dan orang tua. Rasa penasaran saya adalah bagaimana beliau dapat bertahan dalam kondisi seperti itu. 

Wajah sepuh itu menyiratkan senyum bijak penuh arti. Setelah agak lama mengumpulkan ingatan, akhirnya dijelaskan juga rahasia itu. "Ilmu yang sedikit itu harus diamalkan atau diajarkan. Prinsip itu yang  saya terima dari guru-guru dulu dan saya pegang sampai sekarang." Wah, jawaban yang sederhana namun sepertinya sangat jarang kita terapkan saat ini. Google dan internet menyediakan kita banyak pengetahuan dan kata-kata bijak, namun sejauh mana kita mau membaca, memahami hingga mengamalkannya, itu yang menjadi masalah. Laptop saya sendiri berisi ribuan artikel dan buku, namun saya belum tahu apakah untuk membacanya saja saya sanggup.

"Anak-anak memang seringkali nakal, susah diatur dan tidak mau belajar. Itu karena mereka jauh dari orang tua." Beliau melanjutkan penjelasan. "Awalnya saya juga sering emosi, tapi semakin sadar kondisi anak-anak itu semakin saya menganggap mereka sebagai anak-anak sendiri. Kalau sudah seperti anak sendiri ternyata mengajar menjadi nikmat. Alhamdulillah." 

Satu dua guru senior yang lain juga memberi saya pengetahuan bijak sebagai guru. Berkah usia benar-benar memberi kita manusia kearifan, tentu bagi yang mau terus belajar. Bagaimanapun tingginya kualitas teknologi informasi, toh tidak akan mampu menyajikan kearifan yang memang harus dialami langsung. Alam semesta mengajari kita dengan cara yang tak tergantikan.

Pada akhirnya saya jadi lebih mengerti mengapa Piaget sang ahli pendidikan terkenal dari Swiss menyatakan bahwa saripati belajar adalah pengalaman. Usia kita adalah lembaran-lembaran yang mampu menuliskan pengalaman-pengalaman itu. Adapun tinta dan pena-nya adalah kemauan dan kerendahan hati. 

Wednesday, 25 November 2015

Benarkah Guru adalah Pahlawan?


Sejak kecil, yaitu ketika menginjak sekolah dasar, saya telah kenal lagu guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Saya juga meyakini kebenarannya. Saat itu di mata saya semua orang dengan profesi guru adalah pahlawan. Sepertinya demikianlah umumnya pendapat kebanyakan orang di waktu itu. Penghormatan masyarakat akan guru juga sangatlah besar, penghormatan dari hati yang sayangnya belum dapat berupa materi.

Para guru yang telah senior, puluhan tahun menjadi guru di sekolah-sekolah kecil dengan penuh romantika bercerita bagaimana susahnya menjadi guru zaman dulu. "Bahkan untuk memenuhi kebutuhan kapur sekolah kami harus sumbangan," demikian tutur mereka. Itu terjadi karena menjadi guru adalah panggilan hati untuk mengabdi bukan untuk mencari materi. Banyak guru yang juga masih bertani atau berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Membaca sejarah orang-orang mengagumkan seperti Sukarno juga dapat membuka hati tentang kepahlawanan guru. Sebagai insinyur teknik beliau memiliki peluang besar untuk menjadi pegawai Belanda dan menikmati hidup yang berkecukupan. Namun Sukarno tidak melakukannya karena beliau berkeyakinan kalau semua orang Indonesia yang terdidik menjadi pegawai Belanda maka kapan Indonesia akan merdeka?

Kebutuhan hidup keluarga jugalah yang akhirnya membuat Sukarno menerima pekerjaan sebagai seorang guru sejarah. Dalam mengajarkan sejarah Sukarno lebih terfokus pada aspek esensi berbagai peristiwa, bukan pada tanggal atau tempat kejadian. Gayanya sebagai orator di kelas membuat para siswa terkesima. Namun gelora kepahlawanan itu juga yang mengakhiri karir guru Sukarno, ketika di depan penilik sekolah yang berkebangsaan Belanda Sukarno mengajar materi "imperialisme." Dengan gaya oratornya ia mengobarkan kebencian terhadap penjajah dan mengakhiri pelajaran dengan teriakan, "Negeri Belanda adalah kolonialis terkutuk!." Itu juga akhir karirnya di sekolah.

Proses hidup yang saya jalani membawa pada profesi guru. Namun agak berbeda dengan cerita-cerita guru di masa saya kecil, guru saat ini telah mulai mendapat menghargaan material dari pemerintah. Profesi guru termasuk yang paling diminati saat ini, terutama di kota-kota besar. Sedangkan untuk daerah terpencil guru masih termasuk spesies langka, rupanya sangat jarang yang mau menjadi guru di daerah-daerah sulit.

Guru juga manusia biasa. Berbagai krisis moral yang dihadapi bangsa ini seperti korupsi, nepotisme dan krisis susila juga menghantam kehidupan para guru. Beberapa kita temui kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh guru, dan kasus di media tentu menjadi lebih populer dari aktivitas positif sehari-hari guru. Mungkin itu yang akhirnya lumayan menyurutkan penghormatan masyarakat kita.

Benarkah guru adalah pahlawan? Pada akhirnya saya berkesimpulan semua guru berproses untuk menjadi pahlawan. Ada yang berhasil namun ada juga yang gagal. Kepahlawanan itu tidak terletak di profesi, seragam atau sertifikatnya, melainkan pada bukti-bukti  tanggung jawab keguruan yang dipikulnya.

Bacaan Rujukan:
https://rosodaras.wordpress.com/tag/bung-karno-sebagai-guru/

Sunday, 22 November 2015

Ketika Guru Marah


Ketika melihat anak orang lain berbuat kesalahan mungkin anda tidak akan bereaksi apapun, namun jika yang berbuat kesalahan itu adalah anak sendiri maka reaksi kejiwaan seperti kecewa, sedih hingga marah akan mulai muncul. Marah ketika siswa berbuat salah menurut saya adalah reaksi normal dari seorang guru yang benar-benar merasa bahwa siswa tersebut adalah anak didiknya. Permasalahannya adalah: apakah sang guru dapat menguasai dan menggunakan amarah dengan baik, atau sebaliknya justru dikuasai oleh rasa marah itu?

Ketika seseorang dikuasai oleh rasa marah ternyata muncul semacam racun di dalam darahnya yang merupakan ekskresi dari berbagai mekanisme organ yang tidak nomal atau di luar kebiasaan. Organ-organ tersebut oleh otak dipaksa bekerja tidak normal karena marah sebenarnya merupakan suatu peringatan dari otak ketika kita sedang menghadapi bahaya. Untuk tujuan keselamatan diri, maka kerja yang tidak normal dan menghasilkan racun menjadi suatu harga yang pantas. Namun ketika seorang guru dikuasai kemarahan apakah benar-benar saat itu ia menghadapi musuh yang berbahaya? Tentu tidak. Kalaupun ada maka musuh tersebut adalah kemarahan itu sendiri.

Di awal-awal menjadi pengajar seringkali saya mengalami emosi alias marah. Seperti ada sesuatu yang hendak meledak di dalam diri. Akibatnya pikiran menjadi buntu dan saya tidak dapat benar-benar mengajar dengan performa yang baik. Ketika kemarahan keluar dalam bentuk perkataan ternyata tidak membuat emosi reda, respon negatif dari siswa di kelas membuat pikiran tambah kacau. Hal itu terjadi karena kemarahan memutus kerja pikiran sehat. Bahkan dikatakan marah dan stress membuat beberapa koneksi antar neuron di otak menjadi putus. Sungguh fatal.

Sekian lama menjadi pengajar ternyata membuat saya belajar. Semua sebenarnya berawal dari pandangan kita akan siswa, peran kita sebagai guru dan bagaimana marah yang seharusnya. Semakin saya memahami siswa, diri saya sendiri, bahwa semua ilmu bukan berasal dari guru sebagai manusia dan juga berbagai aspek pembelajaran, semakin jarang marah itu menguasai. Pengalaman sebagai seorang ayah juga turut menguatkan keterampilan tersebut. Benarlah teori Kholberg yang menyatakan bahwa berkeluarga sangat mendukung perkembangan moral seseorang.

Memarahi siswa tanpa dikuasai oleh rasa marah. Memarahi siswa hingga membuat mereka sadar, bukan malah menjadi dendam. Itu adalah seni menjadi seorang guru yang sangat sulit dilakukan. 

Saturday, 21 November 2015

Guru Karena Jatuh Cinta


Masih jelas saya ingat, betapa tak pernah saya membayangkan untuk menjadi seorang guru. Setelah lulus di Jurusan Biologi saat itu yang saya buru adalah pekerjaan-pekerjaan di laboratorium, industri ataupun pusat-pusat penelitian. Sambil menunggu panggilan pekerjaan, untuk mengisi perut saya terima tawaran menjadi guru les privat. 

Satu, dua hingga akhirnya saya mempunyai tiga orang anak didik. Masing-masing masih duduk di bangku sekolah dasar. Tanpa satu pun teori kepengajaran saya membantu mereka untuk belajar. Saya niatkan saja untuk membantu belajar, karena kalau hanya belajar semua orang toh juga pengalaman. Ternyata sungguh menyenangkan. Saya jatuh cinta pada aktivitas tersebut. Seperti cinta pada pandangan pertama. 

Pekerjaan di laboratorium yang telah ditunggu-tunggu sebelumnya memanggil saya untuk segera mulai masuk. Satu-dua bulan saya lalui pekerjaan itu, tapi sepertinya cinta saya sebagai seorang guru telah benar-benar berkesan sangat dalam. Saya tidak bisa lagi menikmati pekerjaan di laboratorium berhadapan dengan proses sterilisasi, penyiapan media kultur hingga bau alkohol-formalin yang begitu menyengat tetap tembus walau hidung tertutup masker. 

Mungkin itulah yang dikatakan sebagai takdir atau jodoh. Puluhan tahun berikutnya saya melebur diri dalam profesi sebagai seorang pengajar. Alhamdulillah pilihan tersebut tetap saya syukuri hingga saat ini. Profesi yang dilandasi cinta sepertinya membuat berbagai senang-sedih yang saya lalui selalu berbuah hikmah. 

Thursday, 19 November 2015

Guru yang Tidak Lagi Belajar


Menjadi sarjana pendidikan dengan usaha yang jujur memang membahagiakan. Bertahun-tahun proses menuntut ilmu di bidang keguruan penuh dengan cerita sedih, sulit, penuh onak dan duri serta butuh ekstra kesabaran. Ketika wisuda dan sudah pantas menyandang gelar S.Pd yang terbayang adalah senyum kedua orang tua yang sudah lama menunggu. Hati terasa berbunga, seolah penderitaan panjang yang telah dilalui tak terasa. Lebih lengkap ketika tawaran mengajar datang dari suatu sekolah.

Kebahagiaan saat kelulusan dan juga ketika menerima tawaran untuk mengajar disuatu sekolah seringkali membuat lupa. Merasa bahwa kebahagiaan itu menjadi akhir dari semua proses belajar yang telah dilakukan. Akibatnya banyak guru yang secara akdemik bagus ketika sekolah dan kuliah, namun berhenti di tempat. Perkembangan kualitas keguruannya tidak berkembang. Berbagai perubahan zaman seperti teknologi, kurikulum serta tuntutan masyarakat akhirnya tidak dapat diadaptasi. Sungguh sayang!

Persepsi bahwa lulus kuliah dan mulai menjadi guru menjadi akhir dari proses belajar itulah yang menjadi akar masalah. Padahal kenyataannya menjadi guru menuntut kita untuk lebih dan lebih banyak lagi belajar. Ketika kuliah mahasiswa dituntut menguasai konsep dan skill sesuai dengan standar calon guru. Namun ketika telah mengajar seorang guru dituntut untuk mempelajari kondisi siswanya, memperdalam keilmuannya, menyesuaikan kompetensi dengan perkembangan kurikulum dan teknologi yang terjadi. Intinya, menjadi guru tidak menghentikan belajar, bahkan sebaliknya menuntut lebih banyak lagi belajar.

Ketika guru berhenti belajar, maka kualitasnya akan berhenti berkembang. Ia akan stagnan, tetap menjadi seperti guru pemula walaupun usianya tidak lagi muda. Dalam teori perkembangan kualitas guru yang dipaparkan oleh Arends seorang guru pemula cenderung hanya memikirkan performa diri dan juga kepentingan-kepentingan dirinya saja. Target utamanya adalah bagaimana mempertahankan profesinya.

Harapan masyarakat adalah guru yang terus berkembang menjadi guru ahli, yang orientasi utamanya adalah siswa dan bertanggung jawab pada peningkatan kualitas diri. Tentu hal ini juga menjadi keinginan setiap insan keguruan, sebelum ia terjebak ke dalam paradigma yang salah. Jadi, menjadi guru sebenarnya sama halnya dengan menjadi siswa super, yang terus belajar melalui aktivitas mengajarnya.


Tambahan : mengenai teori perkembangan kualitas guru silahkan baca
http://teoriuntukguru.blogspot.co.id/2015/11/tahap-perkembangan-guru.html

Wednesday, 18 November 2015

Guru Seniman


Mengajar beberapa kelas untuk materi yang sama tentu membuat para guru secara sederhana menggunakan strategi yang sama. Namun kadang keanehan terjadi. Kesuksesan di satu kelas ternyata berakhir gagal total di kelas yang lain. Di satu kelas siswa sangat termotivasi mengikuti pelajaran, guru juga bersemangat, media sangat membantu dan tugas-tugas diselesaikan. Tapi di kelas yang lain para siswa tampak loyo sehingga guru menjadi stres, media menjadi kurang efektif dan tugas-tugas tidak dapat diselesaikan oleh siswa.

Fenomena tersebut adalah keanehan yang biasa. Pembelajaran bukan proses mekanik seperti komputer yang berjalan sesuai dengan program yang ditanam. Manusia begitu dinamis dan kompleks sehingga semua proses yang melibatkan manusia, termasuk mengajar, membutuhkan sense of art. Guru harus seperti seniman yang memiliki indera ke enam untuk membuat kelasnya sukses. Perencanaan pengajaran penting, tapi ingat bahwa siswa kita adalah manusia yang dinamis, beberapa perubahan insidental seringkali perlu dilakukan menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Guru yang menarik siswanya itu mirip seniman. Contoh kecil, siswa akan lebih mengerti apa yang dibahas ketika guru dapat menggambarkan konsep secara sederhana, kontekstual, tetap memuat konsep aslinya, dan menarik. Berbagai bakat dapat dimanfaatkan untuk mengajar misalnya bakat menggambar, bercerita, humor, musik atau bahkan pengalaman yang luas. Guru-guru yang dapat mengintegrasikan bakat-bakat mereka di dalam kelas akan membuat siswa merasakan nuansa yang berbeda. Belajar menjadi tidak kaku, sulit dan menyeramkan.

Kelas adalah ruang sosial. Guru dan siswa berinteraksi dengan membawa karakter psikologis yang unik. Guru bisa saja mengajar tanpa membangun interaksi kejiwaan dengan para siswanya, namun kondisi seperti itu bukanlah kelas untuk manusia. Proses-proses manusia membutuhkan cara-cara manusia. Hal yang pertama harus dilakukan guru adalah dengan menyadari bahwa dirinya sebagai guru dan anak-anak sebagai siswa tak lain  adalah manusia-manusia biasa.

Calon Guru Berprestasi



Dalam sebuah acara wisuda, salah satu yang mengharukan para orang tua adalah ketika menyaksikan wisudawan terbaik. Dengan nilai cumlaude, salah seorang calon guru rupanya dapat melambungkan hati kedua orang tuanya yang kebetulan adalah petani. Tidak hanya mereka berdua, seluruh dosen, aparat pemerintahan dan masyarakat yang hadir pasti merasakan kebahagiaan.

Mungkin banyak di antara pembaca yang mengatakan, "itu kan cuma prestasi akademik, hanya sebagian kecil dari prestasi." Jika kita hanya menganalisis kalimat tanpa konteks, maka pernyataan itu sangat tepat. Namun jika kita mau lebih jauh menelaah konteks bagaimana sebuah prestasi akademik dapat diraih, maka kalimat tersebut terasa jauh dari tepat.

Untuk mendapatkan predikat cumlaude, seorang calon guru harus berjuang bertahun-tahun. Seringkali ia harus berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan seperti sarana, dukungan orang tua hingga kondisi kesehatan yang tidak selalu prima. Kebetulan calon guru dalam cerita ini semasa mahasiswa juga aktivis, bahkan ia sempat menjadi ketua BEM. Sungguh besar tanggung jawab yang harus dipikulnya. Bakat kepemimpinan sepertinya sudah teruji sebelum ia benar-benar menjadi guru yang harus berperan sebagai leader di kelas.

Saya berharap begitulah pandangan para guru kepada setiap prestasi akdemik yang diperoleh para siswanya. Selama prestasi itu dicapai secara jujur, maka pastilah ia merupakan akumulasi kerja keras, konsistensi, motivasi, keuletan, kerja sama dengan banyak pihak serta ketahanan mental dari berbagai kegagalan-kegagalan kecil sebelumnya. Bahkan untuk prestasi, sebaiknya kita juga tunjukkan sebagai guru juga tidak kalah.

Prestasi seorang calon guru serasa sangat istimewa, karena saya yakin ia memiliki pengalaman bagaimana menumbuh-suburkan prestasi itu di dalam diri anak-anak didiknya kelak.

Sunday, 15 November 2015

Guru Membanggakan Sejak Pandangan Pertama


Siswa pasti menginginkan guru yang membanggakan mereka. Yang dapat menjadi idola, tidak hanya dari aspek keilmuan, tapi sejak pandangan pertama. Tiap-tiap individu guru mewakili harapan seluruh siswa di sekolah. Jangan abaikan harapan itu. Berusahalah untuk menjadi guru yang dapat mereka banggakan, mulai dari kelas hingga saat mau tidur di rumah. 

Tugas guru memang berat. Karena pada usia sekolah, figur dambaan anak-anak beralih dari orang tua di rumah menuju para guru yang mengajar mereka di kelas. Ratusan kali ucapan orang tua sering kali mereka kurang perhatikan, tapi satu kali guru berkata anak-anak itu langsung beraksi. Bagi anda yang memiliki anak pasti sering mengalami hal tersebut. Bronfenbrenner menyebutnya sebagai perluasan ekologi sosial anak.

Guru yang membanggakan sejak pandangan pertama tidak hanya memikirkan pelajaran dan pelajaran saja. Guru-guru harus juga bercermin sambil bertanya pada diri sendiri, "sudah cukup membanggakankah saya?" Lihat baju, celana atau rok dan sepatu yang anda gunakan. Pantaskah? Kebanggaan dan kepantasan tidak lahir dari harga yang mahal tapi kebersihan, kerapian, dan kesesuaian. Tubuh anda lebih-lebih juga harus benar-benar terawat.

Gaya berbicara guru semestinya menampakkan kepercayaan diri, keluasan wawasan dan kehangatan. Tidak memalukan seperti orang-orang yang tidak terpelajar. Guru adalah semesta anak sejak kaki mereka menginjak gerbang sekolah. Mereka ingin guru yang membanggakan sejak pandangan pertama, karena ingin menjadi bagian dari kebanggaan itu. Dari kebanggaan itu mudah-mudahan akan lahir para pembaharu yang mengharumkan bangsa ini. Amin.

Thursday, 12 November 2015

Senyum Guru dan Neuron Cermin


Melihat foto dua mahasiswa calon guru di atas, mana yang lebih membuat perasaan anda senang? Saya yakin jawabannya adalah pada mahasiswa yang berkaos hijau. Secara alami kita akan merasa senang ketika melihat orang lain tersenyum atau sebaliknya, tidak senang ketika melihat orang lain cemberut. Inilah keajaiban psikologi manusia yang harus kita sadari sebagai guru.

Kondisi tersebut terjadi karena manusia memiliki neuron cermin. Dalam studi neurosains ternyata diketahui bahwa dengan neuron cermin di otak kita dapat mengetahui emosi orang lain, dan bahkan memantulkan emosi tersebut ke bagian lain pikiran kita (oleh karena itu dinamai cermin) sehingga akhirnya menginduksi tubuh kita untuk cenderung melakukan hal yang sama. Saat melihat orang tersenyum pada kita maka perasaan kita dapat merasakan senyuman itu dan tersenyum balik. Ketika menonton film aksi perhatikan bagaimana tubuh kita secara alami terdorong untuk juga "berkelahi."

Keajaiban neuron cermin ini harus dimanfaatkan guru. Tersenyumlah untuk menginduksi perasaan senang dan senyum di wajah siswa-siswa anda. Senyum itu gratis, namun berdampak positif sangat besar. Senyum memang bukan inti pembelajaran, namun ia adalah gerbang menuju pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.

Kadang seorang guru juga harus menegur, menasehati dan memberi sangsi kepada siswa. Di saat-saat seperti itu memang wajah harus menampakkan rasa tidak suka, sedih dan kecewa. Namun jangan terlalu lama dan berlarut-larut. Alangkah baiknya jika sebagian besar memori siswa akan gurunya berisi dengan senyuman hangat sang guru. Hingga saat kita memasuki kelas, sebelum kita tersenyum, memori mereka akan menyalakan neuron cermin dan memberi kita senyum terlebih dahulu.

Itu juga sepertinya yang membuat senyum menjadi sedekah. Selamat mencoba.

Wednesday, 11 November 2015

Komunikasi Guru


Guru juga pernah menjadi siswa. Kita semua demikian. Di antara sekian banyak guru yang mengajari kita di masa silam, tentu masih terbayang bagaimana karakter komunikasi mereka. Coba anda bayangkan salah satu di antara guru anda. Yang ketika mengajar tampak lesu dan seolah terpaksa mengajar. Tidak ada semangat. Bagaimana kondisi kelas saat itu? Mungkin para siswa diam karena takut, atau mengantuk. Yang parah jika ramai sendiri tak menggubris guru di depan kelas.

Berbicara ternyata tidak hanya aktivitas mulut yang mengeluarkan suara-suara tertentu. Dalam studi komunikasi ternyata diketahui bahwa bahasa tubuh memegang peran sangat penting bagi kesuksesan seorang pembicara. Kita cenderung lebih mengingat gaya tubuh para guru kita dari pada detail kata-katanya. Bagaimana senyum, tatapan mata dan gaya berjalannya. Hal tersebut memberi sedikit contoh betapa manusia sangat sensitif pada bahasa tubuh.

Berbagai teori kelas berat yang keluar dari mulut seorang guru bisa tidak berdampak apapun ketika gestur tubuhnya menunjukkan kemalasan untuk mengajar. Suara yang lembut bisa jadi menakutkan siswa ketika diiringi sorotan mata dan senyum yang seperti menikam jantung. Wajah kaku membuat tidak bersemangat. Berbicara hanya dari tempat duduk sepanjang jam pelajaran tentu menebar kepasifan ke seluruh antero kelas.

Kita tidak hanya berbicara dengan mulut tetapi seluruh tubuh. Karena itu para guru harus memanfaatkannya seoptimal mungkin. Manusia seolah memiliki suatu insting alami untuk mengetahui bahasa tubuh lawan bicaranya. Ditambah lagi, gerakan aktif kita ternyata tidak hanya berpengaruh pada siswa melainkan juga pada diri sendiri.

Tuesday, 10 November 2015

Guru sang Motivator



Hitunglah berapa siswa anda dalam satu kelas, kemudian berapa jumlah kelas yang anda ajar. Setelah itu kalikan dengan berapa tahun anda mengajar. Begitu banyak manusia masa depan yang bergantung pada upaya anda untuk mengarahkan mereka menjadi lebih baik. Harus anda sadari betapa penting peran anda sebagai guru.

Anak-anak secara alami selalu berorientasi pada kesenangan. Seperti kata John Dewey, dunia mereka adalah bermain. Mereka belajar mengenali dan memahami kehidupan sebagian besar melalui proses bermain. Menjadi guru yang baik tentunya dapat menjadikan setiap aktivitas bermain mereka adalah permainan yang kaya akan unsur-unsur kreativitas. Guru seharusnya dapat menjadi motivator bagi anak untuk terus belajar.

Pembelajaran dan aktivitas sekolah yang menyenangkan memang akan merangsang anak untuk giat belajar di sekolah. Namun sebenarnya motivasi terbaik adalah motivasi internal, yaitu motivasi yang bersumber dari dalam diri sendiri. Karena dengan jenis motivasi ini maka anak tidak akan tergantung pada kehadiran guru untuk belajar. 

Salah satu motivasi internal manusia yang kuat adalah tujuan hidup. Pencarian manusia akan tujuan hidup (identitas diri) biasanya ketika ia menginjak remaja. Namun sebelum itu sebaiknya memang mereka telah dikenalkan dan dipersiapkan pada tujuan-tujuan hidup. Tentu tidak untuk dipaksakan. Tanpa bantuan yang tepat maka seringkali mereka bingung dan akhirnya salah menentukan tujuan yang baik bagi hidupnya.

Pertanyaannya berapa banyak sekolah yang benar-benar memperhatikan hal ini? 

Rekomendasi