Sunday 22 November 2015

Ketika Guru Marah


Ketika melihat anak orang lain berbuat kesalahan mungkin anda tidak akan bereaksi apapun, namun jika yang berbuat kesalahan itu adalah anak sendiri maka reaksi kejiwaan seperti kecewa, sedih hingga marah akan mulai muncul. Marah ketika siswa berbuat salah menurut saya adalah reaksi normal dari seorang guru yang benar-benar merasa bahwa siswa tersebut adalah anak didiknya. Permasalahannya adalah: apakah sang guru dapat menguasai dan menggunakan amarah dengan baik, atau sebaliknya justru dikuasai oleh rasa marah itu?

Ketika seseorang dikuasai oleh rasa marah ternyata muncul semacam racun di dalam darahnya yang merupakan ekskresi dari berbagai mekanisme organ yang tidak nomal atau di luar kebiasaan. Organ-organ tersebut oleh otak dipaksa bekerja tidak normal karena marah sebenarnya merupakan suatu peringatan dari otak ketika kita sedang menghadapi bahaya. Untuk tujuan keselamatan diri, maka kerja yang tidak normal dan menghasilkan racun menjadi suatu harga yang pantas. Namun ketika seorang guru dikuasai kemarahan apakah benar-benar saat itu ia menghadapi musuh yang berbahaya? Tentu tidak. Kalaupun ada maka musuh tersebut adalah kemarahan itu sendiri.

Di awal-awal menjadi pengajar seringkali saya mengalami emosi alias marah. Seperti ada sesuatu yang hendak meledak di dalam diri. Akibatnya pikiran menjadi buntu dan saya tidak dapat benar-benar mengajar dengan performa yang baik. Ketika kemarahan keluar dalam bentuk perkataan ternyata tidak membuat emosi reda, respon negatif dari siswa di kelas membuat pikiran tambah kacau. Hal itu terjadi karena kemarahan memutus kerja pikiran sehat. Bahkan dikatakan marah dan stress membuat beberapa koneksi antar neuron di otak menjadi putus. Sungguh fatal.

Sekian lama menjadi pengajar ternyata membuat saya belajar. Semua sebenarnya berawal dari pandangan kita akan siswa, peran kita sebagai guru dan bagaimana marah yang seharusnya. Semakin saya memahami siswa, diri saya sendiri, bahwa semua ilmu bukan berasal dari guru sebagai manusia dan juga berbagai aspek pembelajaran, semakin jarang marah itu menguasai. Pengalaman sebagai seorang ayah juga turut menguatkan keterampilan tersebut. Benarlah teori Kholberg yang menyatakan bahwa berkeluarga sangat mendukung perkembangan moral seseorang.

Memarahi siswa tanpa dikuasai oleh rasa marah. Memarahi siswa hingga membuat mereka sadar, bukan malah menjadi dendam. Itu adalah seni menjadi seorang guru yang sangat sulit dilakukan. 

2 comments:

  1. istilah pengajar sudah tidak digunakan lagi dalam dunia Pendidikan saat ini,
    karena pengajar hanya menyampaikan materi pembelajaran,
    sedangkan pendidik, kita berperan membentuk karakter siswa

    maaf jika ada kesalahan

    ReplyDelete
  2. Istilah pendidik memang lebih disukai. Namun menurut saya seorang pengajar tidak lebih rendah derajatnya. Karena guru adalah pendidik terutama lewat pengajaran (mata pelajaran tertentu). Seorang guru profesional dituntut untuk hanya mendalami dan mengajar satu mata pelajaran agar terjadi pembagian tugas yang sistematis ...
    Pengajar membuat anak belajar. Bukankah pendidikan yang terdalam adalah belajar? Tapi sekali lagi bag saya itu hanya istilah .. guru tetaplah guru ..

    ReplyDelete

Rekomendasi