Friday 8 January 2016

Mengajarkan Makna


Sedih melihat mahasiswa dan siswa sekolah yang masih banyak belajar dengan cara menghafal. Apapun dihafal. Hal ini sepertinya tidak hanya terjadi di satu mata pelajaran saja tetapi merata, bahkan pelajaran agama atau pancasila juga demikian. Pantaslah jika akhirnya generasi muda kita lebih bersifat materialis, teknis dan ingin serba instan, karena begitulah cara mereka memahami sesuatu. 

Buku teks yang dipelajari menjadi mantra-mantra yang tidak perlu lagi dipahami secara kritis dan dikorelasikan dengan kenyataan sehari-hari. Yang penting bisa menjawab soal-soal ujian. Inilah mungkin yang dimaksud dengan pendidikan tekstual.

Paling parah adalah mereka yang hidup hanya sekedar rutinitas harian. Kuliah atau sekolah hanya sekedar berangkat dan pulang dengan hafalan baru sebelum akhirnya menjadi jenuh. Orientasinya ijazah, dan itupun tidak benar-benar yakin akan digunakan untuk apa kelak. 

Kebiasaan belajar dengan hafalan tanpa kemudian dilanjutkan dengan proses yang lebih mendalam adalah tantangan yang dihadapi para pendidik saat ini. Ilmu pengetahuan harus diajarkan secara utuh, artinya tidak hanya berhenti pada teori atau rumus-rumus tanpa makna hidup yang nantinya teraplikasikan dalam perilaku sehari-hari. Contoh sederhana adalah kritis terhadap buku teks yang dipelajari, jangan semua ditelan mentah. Bahkan walaupun nantinya kurikulum kita mengharuskan hanya satu buku pegangan untuk siswa dan guru.

Bangsa kita sebenarnya kaya akan tradisi dan buah pemikiran yang bersifat simbolik dan spiritual. Berbagai produk budaya dari masa silam tak terhitung jumlahnya. Bahasa daerah juga sangat luwes dalam menggambarkan kenyataan bahkan dunia supranatural. Dalam kehidupan klasik, adat istiadat masyarakat telah menjaga hidup mereka, karena orang-orang kita memiliki pemahaman mendalam akan hidup.

Sejak dulu bangsa kita lebih menginginkan hidup yang mengantarkan mereka untuk meraih kesuksesan yang lebih esensial, bukan hanya materi dan rutinitas. Bukan pula seperti prinsipnya Darwin, survival for the fittest, perjuangan hanya untuk sekedar bisa bertahan hidup. Masyarakat kita menginginkan hidup yang bermakna. Karenanya berbagai agama dan filsafat hidup tumbuh subur di tanah-tanah kita dari Sabang hingga Merauke. Sungguh merupakan harta karun yang sangat bernilai namun mulai tidak menarik untuk digali.

No comments:

Post a Comment

Rekomendasi