Showing posts with label strategi dan inovasi guru. Show all posts
Showing posts with label strategi dan inovasi guru. Show all posts

Friday, 8 January 2016

Mengajarkan Makna


Sedih melihat mahasiswa dan siswa sekolah yang masih banyak belajar dengan cara menghafal. Apapun dihafal. Hal ini sepertinya tidak hanya terjadi di satu mata pelajaran saja tetapi merata, bahkan pelajaran agama atau pancasila juga demikian. Pantaslah jika akhirnya generasi muda kita lebih bersifat materialis, teknis dan ingin serba instan, karena begitulah cara mereka memahami sesuatu. 

Buku teks yang dipelajari menjadi mantra-mantra yang tidak perlu lagi dipahami secara kritis dan dikorelasikan dengan kenyataan sehari-hari. Yang penting bisa menjawab soal-soal ujian. Inilah mungkin yang dimaksud dengan pendidikan tekstual.

Paling parah adalah mereka yang hidup hanya sekedar rutinitas harian. Kuliah atau sekolah hanya sekedar berangkat dan pulang dengan hafalan baru sebelum akhirnya menjadi jenuh. Orientasinya ijazah, dan itupun tidak benar-benar yakin akan digunakan untuk apa kelak. 

Kebiasaan belajar dengan hafalan tanpa kemudian dilanjutkan dengan proses yang lebih mendalam adalah tantangan yang dihadapi para pendidik saat ini. Ilmu pengetahuan harus diajarkan secara utuh, artinya tidak hanya berhenti pada teori atau rumus-rumus tanpa makna hidup yang nantinya teraplikasikan dalam perilaku sehari-hari. Contoh sederhana adalah kritis terhadap buku teks yang dipelajari, jangan semua ditelan mentah. Bahkan walaupun nantinya kurikulum kita mengharuskan hanya satu buku pegangan untuk siswa dan guru.

Bangsa kita sebenarnya kaya akan tradisi dan buah pemikiran yang bersifat simbolik dan spiritual. Berbagai produk budaya dari masa silam tak terhitung jumlahnya. Bahasa daerah juga sangat luwes dalam menggambarkan kenyataan bahkan dunia supranatural. Dalam kehidupan klasik, adat istiadat masyarakat telah menjaga hidup mereka, karena orang-orang kita memiliki pemahaman mendalam akan hidup.

Sejak dulu bangsa kita lebih menginginkan hidup yang mengantarkan mereka untuk meraih kesuksesan yang lebih esensial, bukan hanya materi dan rutinitas. Bukan pula seperti prinsipnya Darwin, survival for the fittest, perjuangan hanya untuk sekedar bisa bertahan hidup. Masyarakat kita menginginkan hidup yang bermakna. Karenanya berbagai agama dan filsafat hidup tumbuh subur di tanah-tanah kita dari Sabang hingga Merauke. Sungguh merupakan harta karun yang sangat bernilai namun mulai tidak menarik untuk digali.

Monday, 4 January 2016

Bertemu Batas


Berjuta atau bahkan milyaran peristiwa kita lalui, hari demi hari, berganti bulan dan tahun. Kebermaknaan setiap pengalaman itu membuatnya tidak musnah, tapi abadi dalam abstraksi pikiran dan ingatan kita. Lebih banyak peristiwa yang luput dari konsentrasi kita, di sanalah rutinitas hidup seringkali menciptakannya. Hidup tapi seperti tidak hidup, tanpa makna.

Sebagai guru, tentu kita menginginkan keabadian itu. Terselip dalam ingatan dan kognisi siswa-siswa yang kita ajar. Baik pengetahuan yang kita sampaikan, pengalaman belajar mereka bersama kita, pujian, nasehat atau bahkan sanksi yang pernah kita berikan. Cita-cita guru yang memang benar guru adalah menjadi bagian dari kehidupan para siswa di masa depan.

Ada beberapa guru dan dosen yang tidak pernah lepas dari ingatan saya. Wajah, perkataan, atau momen-momen mereka bersama saya ketika belajar. Sosok-sosok itu menjadi inspirasi gaya dan cara hidup saya hingga sekarang. Rasanya tidak keliru jika saya pun menginginkan diri menjadi seorang guru atau dosen yang juga lekat dan menginspirasi para siswa dalam kehdupan mereka kelak. Membuat ilmu yang saya sedekahkan menjadi amal jariyah yang mudah-mudahan dapat terus berbunga walau kematian telah lama menjemput.

Keinginan-keinginan mulia toh seringkali menjadi penghalang kemuliaan seseorang. Keinginan yang tidak dilandasi kesadaran akan batasan-batasan yang kita miliki sebagai manusia. Seperti halnya guru, karena begitu inginnya "mendidik siswa" hingga ia melakukan berbagai cara yang mengharuskan siswa menelan semua kue dan batu yang disajikannya. Padahal siswa juga punya selera, punya imajinasi dan kreativitas sendiri yang harus kita beri ruang agar tumbuh berkembang.

Guru dan dosen yang berkesan mendalam dalam hidup saya, jika benar-benar diperhatikan, bukanlah orang-orang yang terlalu mendoktrin dengan keras. Kalau ada yang seperti itu, kesan yang ditimbulkan adalah trauma, walaupun tetap saya ingat namun bukan ingatan yang positif. Guru yang berkesan adalah mereka yang tahu kapan harus memberi arahan, larangan dan kapan harus membiarkan siswa melakukan sesuatu sesuai keinginan dan kemampuannya sendiri.

Saya teringat pada falsafah Tut Wuri Handayani Ki Hadjar Dewantara, atau gaya kepemimpinan para wali yang menurut Cak Nun adalah seperti pengembala bebek atau kambing (yang justru berada di belakang hewan-hewan yang digembala). Menjadi seorang pemimpin yang selalu di depan, guru yang tegas dengan perintah-perintah dan sanksinya akan menghasilkan kepatuhan dan keteraturan belajar yang nampak alias kasat mata. Orang-orang menjadi jelas kalau kita adalah pemimpin. Namun kalau hendak menjadi sosok yang terus menginspirasi siswa, sepertinya kita harus lebih sering memimpin dari belakang. Kalaupun di depan, bukan dengan perintah atau amarah tetapi memberi contoh atau teladan, ing ngarso sungtulodo.

Batas-batas yang kita temui bukan hanya sifat dan potensi siswa yang harus diberi ruang gerak, tapi juga diri kita sendiri sebagai manusia. Apakah anda yakin kalau semua yang anda berikan adalah benar tanpa kesalahan? Kita harus sadar akan kefanaan dan kekurangan (yang bahkan banyak sekali) kita miliki. Mengakui kesalahan atau kreativitas siswa yang lebih baik dari gurunya adalah beban yang lebih sulit. Untuk tugas berat itulah sepertinya kita dilatih rukuk dan sujud setiap hari.

Wednesday, 30 December 2015

Iklim Belajar


Kemarau tahun ini benar-benar panjang dan menyengat. Para ahli mengatakan karena pengaruh elnino atau gelombang angin kering. Para petani mengeluh karena hujan yang dinanti tak kunjung turun. Para pejalan kaki atau orang-orang di pasar juga ribut karena kepanasan. Padahal saat hujan mulut-mulut itu juga banyak mengeluhkan datangnya angin, badai di laut, banjir atau sekedar karena cucian tak kering-kering.

Iklim mempengaruhi bagaimana cara manusia hidup. Tidak hanya itu, berbagai spesies kehidupan yang lain juga sangat dipengaruhi iklim. Kekayaan negara kita akan tanaman dan hewan-hewan karena iklim tropis sangat cocok untuk hidup. 

Tidak hanya daerah atau negara yang memiliki iklim, sekolah dan kelas juga memiliki iklim. Sering kali bibit-bibit siswa yang bertalenta tidak dapat tumbuh dengan baik karena iklim yang dibangun oleh para guru tidak cocok untuk belajar. Anak-anak menjadi stres karena tuntutan yang terlalu keras menekan, atau sebaliknya mereka tidak bersemangat karena iklim sekolah yang terlalu dingin tidak peduli akan prestasi dan kualitas belajar.

Pengalaman saya sebagai siswa dan juga akhirnya guru memberitahu setidaknya ada dua iklim yang cocok untuk belajar. Yang pertama adalah situasi yang menarik dan menyenangkan. Bisa karena gurunya yang menyenangkan (ramah, lucu dan akrab) atau memang pelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa menjadi senang untuk melakukan berbagai aktivitas yang disajikan (seperti aktivitas motorik, menggunakan teknologi, dipadu dengan permainan atau demonstrasi fenomena aneh).

Iklim yang kedua adalah kemanfaatan belajar. Meskipun proses belajar yang disajikan sulit dan sepintas lalu tidak menarik, saya sering merasakan bagaimana semangat belajar anak dapat tumbuh subur. Pada kondisi ini guru mampu menanamkan nilai penting atau manfaat dari materi yang akan diajarkan. Tujuan pembelajaran tidak hanya untaian kalimat yang ditulis atau dibacakan guru di depan kelas, namun "diteriakkan" hingga menghunjam masuk ke ulu hati para siswa dengan berbagai pendekatan. Belajar bukan lagi untuk mengejar kesenangan, tapi seperti kata Maslow, belajar sebagai kebutuhan. 

Sebagai manusia yang juga terus belajar, para guru memiliki keterbatasan dan kegagalan untuk membangun iklim yang baik di kelasnya. Namun jika mengajar hanya merupakan rutinitas sehingga anda bahkan tidak dapat merasakan bagaimana iklim di kelas anda, sepertinya itulah iklim terburuk untuk belajar.

Thursday, 17 December 2015

Dunia yang Dibenci Anak


Setelah memiliki dua anak, saya jadi paham tentang apa yang dibenci oleh anak-anak kecil pada umumnya. Saya yakin anda sekalian juga demikian. Anak-anak tidak suka diam, bahkan mereka membencinya. Selama masih memiliki tenaga, bahkan di kala sakit, mereka mau melakukan banyak hal yang menyenangkan. Children are naturally active, demikian ungkapan sang profesor pendidikan John Dewey.

Banyak orang tua, sayangnya, memiliki anggapan yang berkebalikan dengan karakter itu. Anak yang pintar adalah yang penurut, mau tenang (diam), tidak berlarian atau berteriak (karena itu tidak sopan) dan lain sebagainya. Dua pandangan dunia yang bertolak belakang itu akhirnya sering menimbulkan perang. Anak-anak seolah menjadi sosok pembangkang alias nakal. Padahal itu bukan maksud mereka, itu memang naluri dan cara mereka untuk mengenali dan mengeksplorasi dunia.

Tentu saja keaktifan anak harus dibatasi secara bijak. Karena anak belum mengenal betul cara menjaga kesehatan dan keselamatan, di situ peran kita. Membatasi mereka tanpa harus membuat mereka terkekang. Itulah seni sebagai orang tua dan guru. Sulit tapi harus dipelajari dan didalami karena Allah sudah memberi kita tanggung jawab. Tak ada orang tua dan guru yang sempurna, tapi kita harus berusaha sekuat tenaga.

Beberapa kali saya berkunjung ke TK tempat anak saya bermain dan belajar. Senang melihat bagaimana guru-guru mengajak anak-anak itu belajar sesuai sesuai dengan karakter mereka yang aktif. Suara teriakan, tawa dengan berbagai aktivitas bermain yang dipandu guru yang akrab membuat anak-anak senang masuk "sekolah." Anak saya yang pertama lebih suka mengenal huruf dan angka, sedangkan yang kedua lebih suka bernyanyi dan mewarnai. Sementara beberapa orang tua yang mengantar ada yang mengeluh karena anaknya hanya diajari bermain. Saya cuma tersenyum.

Seandainya dunia Sekolah Dasar tidak merubah atmosfer tersebut secara drastis alangkah baiknya. Guru-guru yang akrab dan mengenal sifat anak adalah dambaan setiap orang tua. 

Tuesday, 8 December 2015

Harga Sebuah Nama


Jika anda ditanya, apa pemberian berharga dari orang tua yang paling awal anda terima? Jawabannya adalah nama anda. Nama bukan hanya sekedar penanda individual untuk sebutan, nama merupakan akumulasi dari kasih sayang, harapan, doa dan memiliki sejarah tertentu. Perlahan namun pasti, nama melekat pada diri, pikiran dan hati anda begitu kuat. Bahkan lebih lekat dari tangan dan kaki sekalipun. Secara reflek pikiran dan konsentrasi anda akan terkumpul jika nama itu disebut atau diteriakkan, bahkan saat tidur anda bisa segera terbangun.

Nama juga ternyata sangat berharga bagi para guru yang mengajar. Banyak guru yang mungkin tidak menyadari hal ini, termasuk saya dulu di awal-awal mengajar. Beberapa siswa yang unik memang secara otomatis kita ingat. Siswa pintar, nakal, gendut, kurus kecil, lucu, adalah contoh-contoh siswa unik yang namanya cepat menghuni memori kita. Sedangkankan siswa lain lama sekali kita ingat. Bahkan bisa jadi ada di antara siswa kita yang tidak pernah kita ingat namanya selama bertahun-tahun kita mangajarnya. 

Hingga suatu ketika saya membaca sebuah hasil penelitian berskala besar yang dilakukan oleh Marilyn L Page, paradigma saya mulai berubah. Beliau mengamati ratusan guru saat mengajar dan memperoleh beberapa karakter yang dimiliki oleh guru yang mampu mengelola kelasnya dengan baik. Salah satu karakter tersebut adalah mengetahui dan mau menggunakan nama-nama siswanya saat beristeraksi dengan mereka.

Setelah saya renungkan, temuan peneliti sungguh mengagumkan. Ia menunjukkan suatu peristiwa kecil yang sering saya lewati tanpa peduli, namun pada kenyataannya memiliki nilai yang besar. Saya bayangkan dua orang mulai menjadi teman ketika mereka telah mengetahui nama masing-masing. Asing atau dekat seseorang pada kita dimulai dari apakah namanya kita ingat. Tentu hal ini juga berlaku pada siswa dan guru-guru mereka. 

Saya cukup sulit mengingat nama dengan cepat, apalagi untuk sekian banyak siswa atau mahasiswa. Namun saya tetap coba lakukan. Dan yang terpenting, saya tunjukkan usaha keras mengenal mereka. Hasilnya ternyata memang luar biasa. Kita menjadi lebih dekat. Kelas bukan lagi kumpulan anak-anak orang lain, tapi seolah keluarga saya sendiri. Harapan-harapan atau bahkan teguran saya lebih mau mereka dengar. Selain menjadi lebih dekat, mereka juga menjadi lebih percaya diri ketika saya mengenali namanya. 

Nama adalah perwakilan diri. Ia mengakumulasi berbagai cerita sedih, bahagia, mimpi-mimpi hingga banyak kebencian yang manusia lalui sepanjang hidup. Saat menjadi guru saya belajar dan merasakan betapa berharganya sebuah nama.

Saturday, 5 December 2015

Guru Jangan Terjebak Kata Paham


Penjelasan yang cukup memakan energi, karena seringkali guru harus teriak, biasanya diakhiri dengan sebuah pertanyaan, "sudah paham anak-anak?" Jawabannya sudah hampir bisa dipastikan, "pahaaam." Guru pun tersenyum puas.

Cerita di atas adalah potret sehari-hari kejadian di banyak kelas. Apa yang guru lakukan (mengecek pemahaman siswa) itu sudah baik, namun belum lengkap. Karena kata paham yang para siswa ucapkan di saat-saat seperti itu kecenderungannya adalah reflek, alias tidak benar-benar dipikir terlebih dahulu. Guru tidak boleh terjebak. Karena pekerjaan yang sudah banyak menguras energi dan pikiran selama dua jam itu bisa musnah sia-sia karena siswa belum paham dan akhirnya melupakannya. 

Bertanya apakah siswa sudah paham adalah strategi yang baik untuk mengajarkan kemampuan evaluasi diri (istilah kerennya kemampuan metakognitif). Namun jawaban sudah paham dari siswa bukan akhir dari pertanyaan tersebut. Guru sebaiknya meneruskannya dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai materi yang telah dijelaskan. Selain memastikan pemahaman siswa, guru juga dapat menunjukkan kepada mereka bagaimana pemahaman yang sebenarnya mereka miliki. Pada proses itulah kemampuan "melihat diri" menjadi lebih terasah.

Reflek siswa untuk cepat mengatakan paham sebenarnya memiliki tiga arti. Yang pertama adalah wujud rasa lelah atau malas mereka melanjutkan aktivitas pelajaran. Kedua adalah ketidaksadaran akan kemampuan diri yang sebenarnya. Yang terakhir tentu saja yang benar-benar telah paham. Untuk karakter pertama dan kedua sungguh berbahaya jika terus berlanjut, karena itulah sumber banyak kegagalan yang akan mereka hadapi. Guru sebaiknya lebih berhati-hati.

Teknik-teknik dasar seperti ini adalah teknik sederhana yang semua guru saya yakin mengetahuinya. Namun kebiasaan siswa, rasa lelah dan sedikitnya waktu bisa jadi membuat reflek menjadi puas dengan jawaban paham mereka akhirnya membiasa. Sebelum akhirnya, di saat perjalanan pulang atau ketika mengoreksi pekerjaan siswa, muncul pikiran sadar itu. "Apa benar mereka sudah paham ya?"

Semoga bermanfaat!

Monday, 16 November 2015

Guru Butuh Teamwork


Beberapa kasus mengenai tuntutan hukum kepada guru karena melakukan tindakan kekerasan kepada anak didiknya membuat kita serba salah. Saya yakin sebenarnya tidak ada guru yang secara sengaja dan sejak semula berniat untuk menyakiti siswa. Hal tersebut dapat terjadi karena emosi seketika. Di lain pihak, kemungkinan besar pihak orang tua dan siswa juga jauh sesudahnya akan mengalami penyesalan tersembunyi karena harus mempidanakan guru.

Intinya, tidak ada pihak yang menginginkan itu terjadi.

Guru seringkali mengalami stres berat terkait tugas-tugas pengajaran dan juga kenakalan siswa yang sulit diatasi. Belum lagi ketika ditambah tugas administratif dan tanggung jawabnya di keluarga masing-masing. Dalam kondisi stres itulah emosi sering tidak terkontrol, demikian juga tugas-tugas pengajaran menjadi tidak maksimal.

Sebenarnya setiap guru mempunyai sesuatu yang dapat diandalkan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan berat di sekolah. Apa itu? jawabannya adalah guru-guru yang lain. Melalui teamwork akan banyak permasalahan terselesaikan lebih mudah. Sayangnya para guru lebih sering sibuk dengan tugas masing-masing dan merasa bahwa semua harus dikerjakan sendiri. Lupa bagaimana tubuhnya sendiri adalah teamwork dari organ-organ dan trilyunan sel.

Persoalan kenakalan dan pelaggaran siswa bisa jadi tidak membutuhkan hukuman fisik ketika semua guru telah kompak dengan tata cara tertentu untuk mengatasinya. Kuncinya adalah pada kekompakan dan kerjasama yang efektif. Memang tidak mudah untuk diwujudkan karena ini menyangkut rasa saling percaya dan pembentukan kultur. Namun saya rasa kebertuhanan dan keindonesiaan kita telah menyimpan benih teamworking yang kuat dan tanpa pamrih. Tinggal kita siram dan pupuk benih itu dengan ilmu dan kecintaan kita pada dunia pendidikan. InsyaAllah.

Saturday, 14 November 2015

Dicari! Guru Kontekstual


"Kenapa kita harus mempelajari ini?"

Pertanyaan sederhana siswa tersebut sudah harus anda siapkan jawabannya sebelum mengajar. Jawablah dengan singkat, menarik dan jelas. Kalaupun ternyata siswa tidak menanyakannya, sebaiknya anda tetap menjelaskan tujuan dan mafaat pengajaran. Tapi ingat, tujuannya benar-benar harus kontekstual, alias benar-benar terkait dengan kehidupan siswa baik di masa kini maupun masa yang akan datang. Bukan hanya sekedar tujuan pembelajaran yang ada di buku teks.

Manusia adalah makhluk yang bertujuan dan memiliki ego, demikian kata Iqbal. Secara fitrah manusia selalu mempertanyakan eksistensi dirinya, kenapa ia harus melakukan ini atau itu? Akan jadi apa dirinya kelak? Seperti apa jodohnya? Apa yang akan ia alami setelah kematian? dan banyak pertanyaan lain. Pasangan hidup, keluarga, golongan dan bahkan bangsa merupakan perluasan dari ego manusia ketika ia menjadi semakin dewasa.

Menjelaskan tujuan pengajaran secara kontekstual kepada siswa itu artinya mengajarkan kedewasaan tahap demi tahap. Bisa jadi melalui aktivitas kecil itu kita para guru dapat turut mengatasi berbagai problem remaja saat ini. Perkelahian, tawuran, obat-obat terlarang, seksualitas dini, kemalasan dan rendahnya etika. Saya yakin semua itu dapat lebih dijauhi anak ketika mereka mulai memahami diri dan tujuan hidupnya.

Guru baru yang berprestasi dan berenergi mungkin telah menguasai materi namun belum bisa benar-benar kontekstual karena minim jam terbang. Guru senior memang banyak pengalaman, namun harus ekstra energi untuk beradaptasi dengan perubahan kurikulum dan keilmuan. Guru kontekstual adalah guru senior dengan semangat guru baru, atau guru baru yang mau benar-benar belajar pada guru seniornya.

Yang jelas, guru kontekstual benar-benar dicari karena penting.

Friday, 13 November 2015

Guru Penuh Kejutan


Setiap orang suka kejutan, maksudnya kejutan dalam artian postif. Seperti anak-anak yang menunggu ibunya dari pasar dengan membawa oleh-oleh. Harap-harap cemas mereka menanti kejutan apa yang bakal dibawa oleh sang ibu. Meski bukan barang yang mahal, seringkali kejutan seperti itu membawa kesan dan kegembiraan yang mendalam bagi mereka.

Para guru juga dapat membawa kejutan-kejutan kecil untuk para siswanya. Bisa berupa cerita, berita menarik, gambar, video, aktivitas, benda-benda nyata, tebak-tebakan atau hanya sebuah nyanyian. Carilah yang tidak memakan banyak waktu dan dapat menjadi pintu masuk menuju materi yang akan disajikan. Para siswa akan membayangkan pelajaran sebagai sebuah jalan-jalan yang menyenangkan jika anda sering membawakan mereka kejutan.

Untuk memberi kejutan pada seseorang, seringkali kita berpikir terlalu jauh, terlalu mahal, terlalu sulit, terlalu teoretis, terlalu banyak makan waktu dan terlalu-terlalu yang lain. Hingga pada akhirnya oleh-oleh itu urung anda bawakan.  

Menjadi guru hebat dengan penghargaan dan hasil Uji Kompetensi Guru yang sempurna memang sangat sulit. Namun jika anda ingin menjadi guru hebat di mata para siswa saya kira tidak sesulit itu. Cukup sering-sering saja bawakan kejutan kecil yang membuat mereka selalu menunggu kedatangan anda untuk mengajar.

Thursday, 5 November 2015

Guru Detektif


Problem kesulitan belajar siswa serta trauma mereka terhadap sekolah adalah hubungan antara siswa dan guru. Ibaratnya sebuah keluarga, jauhnya anak dengan kedua orang tuanya akan berakibat pada peristiwa broken home. Anak-anak akan menjadi sulit menata diri dan melakukan kenakalan-kenakalan yang menghancurkan eksistensi keluarga tersebut. Begitupun dengan anda para guru di sekolah. Kedekatan anda dengan para siswa adalah batu-bata bangunan sekolah yang sebenarnya.

Dekat dengan siswa tidak harus melalui kedekatan fisik. Artinya berada di dekat mereka sepanjang waktu. Kedekatan itu justru membuat mereka seolah merasakan keberadaan anda walaupun tidak sedang bersama anda. Wah kok bisa? Ya, inilah keajaiban jiwa manusia. 

Jadikan interaksi anda dengan mereka penuh kesan akrab. Buat anak-anak itu percaya pada anda hingga mereka mau mengutarakan keinginan atau permasalahan-permasalahan belajarnya. Menurut Erikson, fase eksistensi awal kejiwaan manusia adalah bagaimana membangun kepercayaan seorang anak kepada orang tuanya (dan juga dunia). 

Bagaimana membuat anak-anak percaya pada anda? Tidak ada rumus yang mujarab dan paten untuk itu. Anda harus mengenali mereka dengan baik, dan melakukan pendekatan sesuai dengan karakter tersebut. Sulitkah? Bagi yang tidak biasa mungkin sulit. Anda harus menjadi seorang detektif! Perhatikan bagaimana tingkah anak-anak itu, intai dan curi dengan obrolan dan gurauan mereka. Jangan hanya mengurung diri di ruang guru! Luangkan waktu, berkeliaranlah di sudut-sudut sekolah, lihat apa yang terjadi setiap harinya. Tapi tentu jangan lupakan tugas anda menyusun RPP dan perangkat pengajaran.

Keluarga yang dekat dan akur (juga kepada Allah) dalam Islam disebut dengan sakinah. Saya rasa itu juga berlaku untuk para guru dan siswa di sekolah. Dimulai dengan kedekatan maka proses belajar dan pembentukan karakter yang positif akan menjadi momen-momen yang membahagiakan. Mari buktikan.

Wednesday, 4 November 2015

Guru Suka Bertanya


Pertanyaan yang biasanya muncul di dalam kelas ada dua jenis. Pertama adalah pertanyaan siswa yang ingin tahu atau belum jelas. Kedua adalah pertanyaan guru untuk mengecek pemahaman siswa. Sekilas dua pertanyaan inilah yang menunjukkan bahwa proses belajar mengajar telah berlangsung dengan efektif.

Tapi belum! Ada satu jenis pertanyaan yang sebenarnya akan berdampak luar biasa bagi dunia pendidikan. Ia adalah pertanyaan dari guru namun dengan jiwa siswa. Yaitu pertanyaan yang memang karena ingin tahu, karena merasa belum benar-benar tahu sehingga guru terhindar dari sikap sok tahu dan gampang menyalahkan apabila menemui pendapat yang berbeda dengan pengetahuannya. Guru yang seperti ini juga akan memiliki pintu hati yang lebar, artinya kebesaran jiwa untuk mendengarkan berbagai pikiran dan bahkan keluhan siswa.

Pertanyaan untuk mengecek pemahaman siswa memang bagus. Namun belum cukup untuk menjadi guru yang berdampak besar. Guru seperti ini biasanya telah merasa cukup tahu (kadang sok tahu ketika harus menjawab pertanyaan siswa namun masih ragu akan jawabannya). Dan itulah sebenarnya kematian bagi jiwa belajarnya.


Rekomendasi