Pada usia sepuluh tahun ia telah
membuat heboh masyarakat Cicalengka karena mengajari baca-tulis dan bahasa
Belanda beberapa anak pembantu kepatihan. Tentu saja gempar, karena di zaman
penjajahan kemampuan baca-tulis adalah langka, apalagi untuk anak pembantu atau
rakyat jelata. Kita tidak dapat melihatnya dari kacamata saat ini, dimana
sekolah sudah wajib untuk semua anak yang hidup bumi pertiwi.
Namanya Dewi sartika, atau Raden
Dewi Sartika, lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 dan meninggal pada tahun
1947 di Tasikmalaya. Perjuangannya untuk meningkatkan pendidikan bagi perempuan
Indonesia telah tumbuh subur sejak kecil, dibuktikan oleh peristiwa di atas.
Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan yang dibuang ke
Pulau Ternate oleh penjajah Belanda. Berbeda dengan kebiasaan tersebut, sang
ayah memaksa untuk menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah Belanda untuk
juga belajar seperti anak laki-laki. Umumnya berdasarkan adat yang bersekolah
saat itu adalah anak laki-laki keturunan bangsawan atau pegawai Belanda.
Sedangan anak perempuan tidak demikian.
Keputusan dan jiwa pejuang sang
ayah membekas kuat dalam jiwa Dewi Sartika. Sejak kecil ia tidak hanya
berkeinginan untuk hidup enak sendiri, melainkan sangat memikirkan kepentingan
masyarakat banyak. Sepanjang hidupnya dipergunakan oleh DewI Sartika untuk
memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan melalui sekolah yang didirikannya
selama lebh dari 25 tahun.
Cita-cita mulia Dewi Sartika
bukan membuat perempuan menjadi seperti laki-laki. Ia berpandangan bahwa setiap
perempuan adalah ibu rumah tangga yang merupakan cikal-bakal tumbuhnya semua
manusia. Karena itu mereka semua haruslah pintar dan berpandangan luas. Untuk
itu perempuan juga harus mengenyam sekolah.
Dewi Sartika bukan hanya guru. Ia
adalah seorang guru berjiwa besar, menyerap semangat kepahlawanan sang ayah
yang telah menginginkan dirinya tidak seperti perempuan bangsawan biasa di
zaman itu. Melainkan menjadi perempuan yang sanggup memberikan sesuatu yang
besar bagi masyarakat dan bangsanya. Walaupun tidak dengan mengangkat senjata
atau menekuni bidang politik. Perjuangannya juga dibantu sang kakek R.A.A.
Martanegara, dan suaminya Raden Kanduruan Agah Suriawinata.
Dari cerita ini kita sadar bahwa
kebesaran jiwa tidak secara instan terbentuk. Sejak belia, orang tua, keluarga
dan guru adalah lahan dan ekologi tumbuhnya kemuliaan itu.
Rujukan:
www.biografiku.com
No comments:
Post a Comment