Thursday 31 December 2015

Siapa yang Patut Bersyukur?


Sudah umum jika orang tua dan guru menjadi sosok yang dianggap penuh jasa. Rela berkorban banyak hal untuk kepentingan anak-anak dan siswa mereka. Sepertinya tidak ada yang bakalan menyangkal mengenai kewajiban anak dan siswa untuk menghormati dan berterima kasih atas semua jasa dan pengorbanan yang telah mereka dapatkan. 

Orang tua dan guru sering kali menjadi ge er, terlalu percaya diri dan membanggakan diri atas jasa-jasanya untuk merawat, mendidik dan mengayomi anak-anak. Padahal orang yang terlalu percaya diri ujung-ujungnya adalah lupa diri dan tidak bersyukur atas sesuatu yang telah diterimanya. Orang tua dan guru merasa sebagai pihak yang selalu memberi, itulah permasalahannya.

Mari kita sedikit memutarbalikkan cara berpikir yang mungkin selama ini menjadi penghuni ruang kepala kita. Kita sebagai guru dan orang tua memang mendidik dan merawat mereka, namun apakah kehadiran mereka memang semata-mata menjadi beban? Jika anda berpikir seperti mesin atau robot maka jawabannya ya. Tapi jika anda seorang manusia dengan perasaan dan matakognisi maka jawabnnya pasti tidak. Jujur saja!

Bersama anak-anak kita dapat merasakan senyum, tawa dan kebahagiaan yang lepas tanpa pamrih. Hanya dari tingkah polah dan bicara mereka kita mendapatkan suatu penawar atas ketegangan hidup yang penuh masalah. Menceritakan bagaimana "kenakalan" sehari-hari anak-anak memang kadang menimbulkan jengkel, namun sebenarnya lebih banyak tawa di dalamnya. Karenanya banyak guru yang merasa tidak bisa berhenti mengajar. Juga orang tua tidak bisa lepas dari anak-anak mereka. Suami dan istri menjadi lebih dekat dan awet karena perbincangan-perbincangan mengenai kelucuan, keanehan, kreativitas atau bahkan kenakalan buah hati mereka.

Memperhatikan tingkah polah dan tumbuh kembang anak sebenarnya memberi kita cermin, tentang bagaimana kita sebagai manusia selalu berawal dari kondisi seperti itu. Butuh bimbingan dan perlindungan. Membuat kita sadar akan kesalahan-kesalahan lampau. Juga memberi ide yang brillian akan suatu kehidupan yang baru di masa depan. Memberi para orang tua semangat untuk terus hidup, berjuang dan menjadi manusia yang lebih baik.

Kejujuran anak-anak adalah permata yang senantiasa berkilau di sudut-sudut hati kita para guru dan orang tua. Keberadaan mereka adalah amanah dan wujud kepercayaan Tuhan kepada kita para orang dewasa.

Kita harus berterima kasih karena memiliki orang tua dan guru dengan limpahan kasih sayang yang menumbuhkan keberanian dan kebaikan untuk hidup. Tapi kita juga harus lebih banyak berterima kasih atas kehadiran serta senyum anak-anak dan siswa di sekeliling kita.

Wednesday 30 December 2015

Iklim Belajar


Kemarau tahun ini benar-benar panjang dan menyengat. Para ahli mengatakan karena pengaruh elnino atau gelombang angin kering. Para petani mengeluh karena hujan yang dinanti tak kunjung turun. Para pejalan kaki atau orang-orang di pasar juga ribut karena kepanasan. Padahal saat hujan mulut-mulut itu juga banyak mengeluhkan datangnya angin, badai di laut, banjir atau sekedar karena cucian tak kering-kering.

Iklim mempengaruhi bagaimana cara manusia hidup. Tidak hanya itu, berbagai spesies kehidupan yang lain juga sangat dipengaruhi iklim. Kekayaan negara kita akan tanaman dan hewan-hewan karena iklim tropis sangat cocok untuk hidup. 

Tidak hanya daerah atau negara yang memiliki iklim, sekolah dan kelas juga memiliki iklim. Sering kali bibit-bibit siswa yang bertalenta tidak dapat tumbuh dengan baik karena iklim yang dibangun oleh para guru tidak cocok untuk belajar. Anak-anak menjadi stres karena tuntutan yang terlalu keras menekan, atau sebaliknya mereka tidak bersemangat karena iklim sekolah yang terlalu dingin tidak peduli akan prestasi dan kualitas belajar.

Pengalaman saya sebagai siswa dan juga akhirnya guru memberitahu setidaknya ada dua iklim yang cocok untuk belajar. Yang pertama adalah situasi yang menarik dan menyenangkan. Bisa karena gurunya yang menyenangkan (ramah, lucu dan akrab) atau memang pelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa menjadi senang untuk melakukan berbagai aktivitas yang disajikan (seperti aktivitas motorik, menggunakan teknologi, dipadu dengan permainan atau demonstrasi fenomena aneh).

Iklim yang kedua adalah kemanfaatan belajar. Meskipun proses belajar yang disajikan sulit dan sepintas lalu tidak menarik, saya sering merasakan bagaimana semangat belajar anak dapat tumbuh subur. Pada kondisi ini guru mampu menanamkan nilai penting atau manfaat dari materi yang akan diajarkan. Tujuan pembelajaran tidak hanya untaian kalimat yang ditulis atau dibacakan guru di depan kelas, namun "diteriakkan" hingga menghunjam masuk ke ulu hati para siswa dengan berbagai pendekatan. Belajar bukan lagi untuk mengejar kesenangan, tapi seperti kata Maslow, belajar sebagai kebutuhan. 

Sebagai manusia yang juga terus belajar, para guru memiliki keterbatasan dan kegagalan untuk membangun iklim yang baik di kelasnya. Namun jika mengajar hanya merupakan rutinitas sehingga anda bahkan tidak dapat merasakan bagaimana iklim di kelas anda, sepertinya itulah iklim terburuk untuk belajar.

Wednesday 23 December 2015

Seperti Cahaya


Mendampingi para mahasiswa berkemah di pantai membuat saya dapat menikmati dengan jelas taburan bintang yang memenuhi langit malam. Begitu mengagumkan. Hal itu tidak mungkin dapat ditemui di desa atau kota yang saat ini telah terang benderang oleh lampu-lampu listrik. 

Teringat saat kecil dulu, bagaimana saya dan teman-teman sering berkumpul dan bermain di halaman atau lapangan saat malam. Gelap (karena lampu jalanan saat itu masih sangat jarang) justru menjadi teman yang membuat permainan kami tambah seru. Perubahan pada bulan, bintang-bintang dan hamparan langit sangat kami ketahui juga karena listrik belum benar-benar menjadi budaya. Beberapa lagu rakyat di banyak daerah dengan jelas menunjukkan bagaimana kedekatan anak-anak dengan langit malam di zaman tradisional. 

Contoh potongan lagu masa kecil saya dulu, "Ghei' bintang ale' ghagghar bulen .."  yang artinya kira-kira: Mari unduh bintang adikku, tapi yang jatuh kok bulan? Dalam lagu anak-anak Madura tersebut tergambar bahwa bintang dan bulan adalah teman-teman bermain mereka di malam hari. 

Cahaya bintang dan bulan di zaman sekarang telah tertutupi oleh lampu-lampu jalanan yang semakin marak. Apalagi memang tempat bermain anak-anak adalah ruang di dalam rumah yang terang benderang oleh listrik dan pancaran sinar TV atau media elektronik yang lain. Dunia manusia sekarang adalah dunia kecil yang mereka ciptakan sendiri. Anak-anak rasanya semakin jauh dari keagungan alam raya yang membesarkan hati.

Cahaya membuat kita dapat melihat benda dan membaca hingga tidak salah kalau Ibnu Sina mengatakan bahwa ilmu Allah terpancar menghampiri kita melalui cahaya. Jika guru juga bertugas untuk menghantarkan ilmu Allah kepada para siswanya, maka para guru juga seperti cahaya bulan atau bintang. Nasibnya juga mirip. Perkembangan media dan teknologi informasi begitu gemerlap sehingga cahaya kasih sayang para guru semakin jarang terasa oleh anak-anak. Pikiran dan hati anak-anak lebih dominan diisi oleh acara televisi, gaya hidup artis, dan berbagai permainan canggih dari dunia on line.

Menjadi bulan dan bintang di saat sekarang memang lebih banyak terabaikan. Bahkan seringkali disalah-pahami. Sering kita dapatkan lampu-lampu jalanan yang ber-merk bintang bulan. Padahal malam di zaman ini semakin panjang.

Thursday 17 December 2015

Dunia yang Dibenci Anak


Setelah memiliki dua anak, saya jadi paham tentang apa yang dibenci oleh anak-anak kecil pada umumnya. Saya yakin anda sekalian juga demikian. Anak-anak tidak suka diam, bahkan mereka membencinya. Selama masih memiliki tenaga, bahkan di kala sakit, mereka mau melakukan banyak hal yang menyenangkan. Children are naturally active, demikian ungkapan sang profesor pendidikan John Dewey.

Banyak orang tua, sayangnya, memiliki anggapan yang berkebalikan dengan karakter itu. Anak yang pintar adalah yang penurut, mau tenang (diam), tidak berlarian atau berteriak (karena itu tidak sopan) dan lain sebagainya. Dua pandangan dunia yang bertolak belakang itu akhirnya sering menimbulkan perang. Anak-anak seolah menjadi sosok pembangkang alias nakal. Padahal itu bukan maksud mereka, itu memang naluri dan cara mereka untuk mengenali dan mengeksplorasi dunia.

Tentu saja keaktifan anak harus dibatasi secara bijak. Karena anak belum mengenal betul cara menjaga kesehatan dan keselamatan, di situ peran kita. Membatasi mereka tanpa harus membuat mereka terkekang. Itulah seni sebagai orang tua dan guru. Sulit tapi harus dipelajari dan didalami karena Allah sudah memberi kita tanggung jawab. Tak ada orang tua dan guru yang sempurna, tapi kita harus berusaha sekuat tenaga.

Beberapa kali saya berkunjung ke TK tempat anak saya bermain dan belajar. Senang melihat bagaimana guru-guru mengajak anak-anak itu belajar sesuai sesuai dengan karakter mereka yang aktif. Suara teriakan, tawa dengan berbagai aktivitas bermain yang dipandu guru yang akrab membuat anak-anak senang masuk "sekolah." Anak saya yang pertama lebih suka mengenal huruf dan angka, sedangkan yang kedua lebih suka bernyanyi dan mewarnai. Sementara beberapa orang tua yang mengantar ada yang mengeluh karena anaknya hanya diajari bermain. Saya cuma tersenyum.

Seandainya dunia Sekolah Dasar tidak merubah atmosfer tersebut secara drastis alangkah baiknya. Guru-guru yang akrab dan mengenal sifat anak adalah dambaan setiap orang tua. 

Monday 14 December 2015

Belajar pada Perilaku Anjing


Masih teringat betul peristiwa saat itu, yaitu pertama kali mendapatkan kuliah mengenai teori psikologi perilaku. Bagaimana ilmuwan pelopornya, Ivan Pavlov, mempelajari perilaku anjing dan mencetuskan teori pengkondisian klasik. Salah seorang teman nyeletuk pelan, "kita manusia kok disuruh belajar pada perilaku anjing ya?" Teman-teman tersenyum karena lucu. Untunglah dosen tidak mendengarnya.

Pikiran saya tersentuh oleh ucapan lucu teman itu. "Benar juga, kita manusia kok mau-maunya menerapkan teori yang diambil dari perilaku hewan." Kehidupan manusia lebih kompleks dibandingkan hewan. Apalagi hanya manusia yang diberi karunia akal pikiran. Bagaimana mungkin kita yang berakal justru belajar pada hewan yang tidak berakal budi? Apalagi anjing yang menjadi ikon sumpah serapah keburukan. Saya merasa bahwa teori itu tidak benar. 

Namun karena yang diajarkan dosen pasti masuk ujian, toh saya harus mempelajari teori itu juga.

Beberapa waktu kemudian saya teringat pada kisah anjing Ashabul Kahfi yang dijanjikan Allah masuk surga. Pelan-pelan saya juga membaca betapa Allah tidak malu untuk menyebutkan hewan-hewan dalam wahyunya, terutama ditujukan bagi kita manusia agar dapat belajar memetik hikmah. Kesombongan sebagai manusia, makhluk yang paling mulialah, yang membuat semua ayat di alam akhirnya tidak dapat kita baca.

Jika dulu saya sempat meragukan temuan pavlov akan hikmah dari perilaku anjing, kini tidak lagi. Saya telah teryakinkan bahwa semua makhluk di alam memiliki tanda keagungan yang dapat kita pelajari untuk memperkaya pribadi dan wawasan. Jika makhluk lain saja dapat menjadi "guru," apalagi manusia. 

Dari peristiwa anjing pavlov saya jadi belajar, bahwa proses belajar yang baik membutuhkan pikiran yang terbuka. Logikanya sederhana, karena belajar tujuannya untuk meningkatkan kualitas diri, maka jika kita merasa tinggi secara otomatis pikiran tertutup dari berbagai pelajaran yang kita anggap tidak penting. Yang saya cari saat ini adalah bagaimana membuka pikiran siswa agar mau belajar, bukan karena terpaksa. Betapa luar biasa jika kita para guru sanggup melakukannya.

Alam raya begitu luas hingga tak seorang ilmuwan pun yang sanggup membayangkan keluasannya. Keagungannya tidak hanya terlihat ketika menjadi kesatuan yang maha luas, tetapi pada setiap butir partikelnya pun telah demikian sempurna. Kita hanya perlu membuka mata dan pikiran untuk mempelajari dan menghayati semua itu. Jangan pernah tertutup, kecuali memang sudah tiba waktunya.

Thursday 10 December 2015

Ego Sebagai Guru


Albert Einstein kecil adalah seorang anak dengan keingintahuan yang sangat besar. Kerena faktor itulah ia sering melanggar disiplin dan "mengganggu" guru-guru dengan berbagai pertanyaan aneh hingga akhirnya dikeluarkan. Ibu kandung Thomas Alva Edison adalah figur orang tua pendidik yang sangat sabar. Karena dikeluarkan dari sekolah, akhirnya sang ibu mengajari Thomas berbagai keterampilan dan pengetahuan yang harusnya diperoleh anak-anak di sekolah.

Kedua tokoh besar di atas adalah orang-orang yang karir di sekolahnya tidak bagus.  Namun toh kesuksesan mereka di bidang ilmu pengetahuan benar-benar luar biasa. Rasanya tidak ada orang yang tidak kenal nama kedua tokoh tersebut.

Sebagai guru, sering saya dihinggapi oleh perasaan tentang pentingnya peran saya bagi pendidikan dan perkembangan keilmuan para siswa atau mahasiswa. Mungkin hal ini juga anda alami. Senang melihat anak-anak yang penurut dan pandai. Sebaliknya, sebel dan kecewa melihat mereka yang sulit diatur dan tidak memahami pelajaran. Ada perasaan bahwa kerja keras kita untuk menyiapkan pelajaran hingga mengajarkannya di kelas menjadi sia-sia. Ya, itulah guru.

Semua itu memang merupakan wujud kepedulian sebagai guru. Sah dan baik-baik saja selama perasaan tersebut tidak tumbuh menjadi sikap bahwa semua prestasi siswa adalah karena "saya." Pada level ini guru akan menjadi kurang introspektif akan kesalahan-kesalahan dan kelemahan yang mungkin masih banyak ia miliki. Kadang juga saya temui guru yang mendongkrak nilai secara berlebihan karena pandangan salah bahwa nilai bagus siswa menunjukkan sepenuhnya kualitas guru. 

Mengajar para mahasiswa di perguruan tinggi membuat saya mengetahui betapa banyak pengetahuan selama belajar di sekolah yang mahasiswa lupakan. Yang tersisa biasanya adalah yang terus digunakan. Jadi, ilmu pengetahuan, sikap atau keterampilan yang kita ajarkan pada akhirnya akan dilupakan jika tidak siswa gunakan. Kita para guru hanya perantara atau penyampai saja. Keberadaan ilmu pada diri siswa ditentukan oleh keinginan dan usaha mereka sendiri. Dan hidayah Tuhan semesta alam tentu saja.

Tugas terberat guru pada akhirnya adalah menumbuhkan dan memberi contoh tentang semangat belajar. Karena melalui semangat itulah siswa dapat mempertahankan dan bahkan mengembangkan berbagai memori belajar bersama kita para gurunya.

Tuesday 8 December 2015

Harga Sebuah Nama


Jika anda ditanya, apa pemberian berharga dari orang tua yang paling awal anda terima? Jawabannya adalah nama anda. Nama bukan hanya sekedar penanda individual untuk sebutan, nama merupakan akumulasi dari kasih sayang, harapan, doa dan memiliki sejarah tertentu. Perlahan namun pasti, nama melekat pada diri, pikiran dan hati anda begitu kuat. Bahkan lebih lekat dari tangan dan kaki sekalipun. Secara reflek pikiran dan konsentrasi anda akan terkumpul jika nama itu disebut atau diteriakkan, bahkan saat tidur anda bisa segera terbangun.

Nama juga ternyata sangat berharga bagi para guru yang mengajar. Banyak guru yang mungkin tidak menyadari hal ini, termasuk saya dulu di awal-awal mengajar. Beberapa siswa yang unik memang secara otomatis kita ingat. Siswa pintar, nakal, gendut, kurus kecil, lucu, adalah contoh-contoh siswa unik yang namanya cepat menghuni memori kita. Sedangkankan siswa lain lama sekali kita ingat. Bahkan bisa jadi ada di antara siswa kita yang tidak pernah kita ingat namanya selama bertahun-tahun kita mangajarnya. 

Hingga suatu ketika saya membaca sebuah hasil penelitian berskala besar yang dilakukan oleh Marilyn L Page, paradigma saya mulai berubah. Beliau mengamati ratusan guru saat mengajar dan memperoleh beberapa karakter yang dimiliki oleh guru yang mampu mengelola kelasnya dengan baik. Salah satu karakter tersebut adalah mengetahui dan mau menggunakan nama-nama siswanya saat beristeraksi dengan mereka.

Setelah saya renungkan, temuan peneliti sungguh mengagumkan. Ia menunjukkan suatu peristiwa kecil yang sering saya lewati tanpa peduli, namun pada kenyataannya memiliki nilai yang besar. Saya bayangkan dua orang mulai menjadi teman ketika mereka telah mengetahui nama masing-masing. Asing atau dekat seseorang pada kita dimulai dari apakah namanya kita ingat. Tentu hal ini juga berlaku pada siswa dan guru-guru mereka. 

Saya cukup sulit mengingat nama dengan cepat, apalagi untuk sekian banyak siswa atau mahasiswa. Namun saya tetap coba lakukan. Dan yang terpenting, saya tunjukkan usaha keras mengenal mereka. Hasilnya ternyata memang luar biasa. Kita menjadi lebih dekat. Kelas bukan lagi kumpulan anak-anak orang lain, tapi seolah keluarga saya sendiri. Harapan-harapan atau bahkan teguran saya lebih mau mereka dengar. Selain menjadi lebih dekat, mereka juga menjadi lebih percaya diri ketika saya mengenali namanya. 

Nama adalah perwakilan diri. Ia mengakumulasi berbagai cerita sedih, bahagia, mimpi-mimpi hingga banyak kebencian yang manusia lalui sepanjang hidup. Saat menjadi guru saya belajar dan merasakan betapa berharganya sebuah nama.

Saturday 5 December 2015

Guru Jangan Terjebak Kata Paham


Penjelasan yang cukup memakan energi, karena seringkali guru harus teriak, biasanya diakhiri dengan sebuah pertanyaan, "sudah paham anak-anak?" Jawabannya sudah hampir bisa dipastikan, "pahaaam." Guru pun tersenyum puas.

Cerita di atas adalah potret sehari-hari kejadian di banyak kelas. Apa yang guru lakukan (mengecek pemahaman siswa) itu sudah baik, namun belum lengkap. Karena kata paham yang para siswa ucapkan di saat-saat seperti itu kecenderungannya adalah reflek, alias tidak benar-benar dipikir terlebih dahulu. Guru tidak boleh terjebak. Karena pekerjaan yang sudah banyak menguras energi dan pikiran selama dua jam itu bisa musnah sia-sia karena siswa belum paham dan akhirnya melupakannya. 

Bertanya apakah siswa sudah paham adalah strategi yang baik untuk mengajarkan kemampuan evaluasi diri (istilah kerennya kemampuan metakognitif). Namun jawaban sudah paham dari siswa bukan akhir dari pertanyaan tersebut. Guru sebaiknya meneruskannya dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai materi yang telah dijelaskan. Selain memastikan pemahaman siswa, guru juga dapat menunjukkan kepada mereka bagaimana pemahaman yang sebenarnya mereka miliki. Pada proses itulah kemampuan "melihat diri" menjadi lebih terasah.

Reflek siswa untuk cepat mengatakan paham sebenarnya memiliki tiga arti. Yang pertama adalah wujud rasa lelah atau malas mereka melanjutkan aktivitas pelajaran. Kedua adalah ketidaksadaran akan kemampuan diri yang sebenarnya. Yang terakhir tentu saja yang benar-benar telah paham. Untuk karakter pertama dan kedua sungguh berbahaya jika terus berlanjut, karena itulah sumber banyak kegagalan yang akan mereka hadapi. Guru sebaiknya lebih berhati-hati.

Teknik-teknik dasar seperti ini adalah teknik sederhana yang semua guru saya yakin mengetahuinya. Namun kebiasaan siswa, rasa lelah dan sedikitnya waktu bisa jadi membuat reflek menjadi puas dengan jawaban paham mereka akhirnya membiasa. Sebelum akhirnya, di saat perjalanan pulang atau ketika mengoreksi pekerjaan siswa, muncul pikiran sadar itu. "Apa benar mereka sudah paham ya?"

Semoga bermanfaat!

Friday 4 December 2015

Mi Instan, Realitas Perjuangan Calon Guru


Jas almamater, potongan rambut dan senyum para mahasiswa calon guru memang meyakinkan. Ditambah lagi gaya bicara yang menunjukkan wawasan serta idealisme khas cendekiawan muda. Tapi semua juga tahu kalau para mahasiswa calon guru, terutama yang nge-kost, seringkali kurang makan. Kebutuhan-kebutuhan tak terduga, baik kebutuhan akademik ataupun non akademik, akhirnya membuat jatah makan menjadi menipis.

Mi instan sangat populer di kalangan mereka. Memang, mi instan termasuk salah satu makanan terkenal di Indonesia, namun di kalangan mahasiswa ketenarannya benar-benar luar biasa. Murah, praktis, dan enak menjadi alasannya, walau sedikit tidak mengenyangkan. Berbagai literatur telah menyebutkan bahaya mengonsumsi mi instan terlalu sering, mulai dari gangguan pencernaan, hati, diabetes, maag hingga kanker. Tapi bagaimana lagi, dalam kondisi darurat mi instan tetap menjadi pilihan paling realistis.

Kesulitan mahasiswa calon guru untuk memenuhi kebutuhan perut adalah romantisme yang sudah berlangsung sejak zaman dulu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka saling membantu. Ketika salah seorang kehabisan uang bahkan mi instan pun tak sanggup dibeli, hidup terus berlanjut dengan cara nebeng nasi bungkus teman-temannya. Masak nasi plus mi dan kerupuk untuk dimakan rame-rame juga menjadi salah satu kreativitas mereka. 

Kesulitan-kesulitan itu juga yang mengikat hati mereka para mahasiswa. Pertemanan semasa mahasiswa sulit dicari bandingannya, tak pernah terlupa seumur hidup. Bahkan ketika mereka telah terpisah jauh dengan profesi masing-masing, pertemanan itu masih kuat. Hubungan antar rekan kerja selama puluhan tahun seringkali tidak bisa mengalahkan kebersamaan selama empat atau lima tahun di masa-masa sulit menjadi mahasiswa. Tentu yang tidak menjadi anak kost agak kurang merasakan dramatisnya hal ini.

Putaran roda kehidupan membawa setiap manusia melalui nasibnya masing-masing. Hanya kenangan yang kita bawa. Kesulitan-kesulitan saat belajar tidak pernah menimbulkan penyesalan, karena justru para mahasiswa yang sering kurang makan dan banyak tugas itulah yang biasanya dapat tertawa lepas dan ceria sepanjang hari. Permasalahan hanya sekilas menampakkan wujudnya di wajah. Kesulitan-kesulitan itu juga yang menghasilkan persaudaraan tanpa harus benar-benar bersaudara. 

Dalam situasi sulit namun penuh ilmu, seseorang akan lebih maksimal bahkan menggila dalam mencapai mimpi-mimpi. Oleh karena itu para mahasiswa calon guru, tak perlu risau dengan semua kesulitan yang kalian hadapi. Di situlah kalian akan benar-benar merasakan bagaimana berproses menjadi manusia, sebelum esok menjadi guru yang bertugas memanusiakan manusia.

Wednesday 2 December 2015

Calon Guru Ketinggalan Kereta


Tugas akhir yang harus dihadapi oleh mahasiswa calon guru di jenjang pendidikan S1 adalah melakukan sebuah riset atau penelitian. Program ini biasanya hanya sekitar 6 SKS dari 144 SKS yang harus ditempuh mahasiswa untuk dapat lulus atau kira-kira hanya 4% saja. Namun beban dan kesibukannya betul-betul berkesan, mungkin banyak yang menganggapnya lebih menyulitkan dari 96% kegiatan kuliah yang lain.

Kondisi tersebut tidak lepas dari tanggung jawab yang dibebankan. Jika pada aktivitas kuliah lain, tanggung jawab masih dominan di tangan dosen, maka pada penelitian tugas akhir 80% tanggung jawab berada di tangan mahasiswa. Mereka dilatih mandiri menjadi calon guru sekaligus ilmuwan. Berbagai teori dan kajian ilmiah yang telah dipelajari sebelumnya ditumpahkan dan diuji kebermaknaannya dalam proses penelitian. 

Tanggung jawab keilmuan dalam tugas penelitian memang berat. Namun seringkali yang membuat calon guru stres, hilang semangat dan terbebani begitu berat adalah urusan-urusan administratif baik di sekolah atau kampus, manajemen waktu, pengaturan komunikasi dengan dosen pembimbing atau guru kelas, kesabaran serta ketelitian dalam menghadapi kerumitan yang tidak terduga. 

Para calon guru yang menempuh tugas akhir biasanya akan menjadi lebih dekat satu sama lain. Mereka saling mengingatkan, memberi tahu, memberi semangat dan juga menanamkan kesabaran ketika permasalahan pelik menimpa. Kesatuan di antara sesama calon guru dalam tugas akhir ibaratnya seperti gerbong kereta yang membuat kesulitan dan tekanan dalam aktivitas ilmiah tersebut lebih mudah dilalui. Jika ada calon guru yang terlambat menyelesaikan tugas akhir, biasanya akan menjadi lebih lama dan terasa sulit. Penyebabnya adalah mereka telah ketinggalan gerbong kereta seperti dalam cerita di atas.  

Kejadian tersebut tampaknya juga dialami oleh guru di sekolah. Berbagai tugas keguruan baik ketika berhadapan dengan siswa secara langsung ataupun tugas administratif yang rumit dan meminta kesabaran, akan lebih mudah dilalui ketika guru berada dalam gerbong kesatuan antara guru, struktur sekolah apalagi orang tua. Gerbong-gerbong kereta ini tidak terlihat, namun memiliki daya bantu yang sangat besar. Jadi, bangunlah gerbong-gebong itu di sekolah anda dan jangan sampai ketinggalan.

Rekomendasi