Wednesday 6 January 2016

Peristiwa Kecil


Membaca catatan pinggirnya Goenawan Mohamad tentang "peristiwa kecil" kemerdekaan Republik Indonesia seperti memberi saya sengatan listrik. Tujuh belas Agustus sebagai hari kemerdekaan dalam bayangan saya adalah peristiwa besar yang gegap gempita oleh teriakan merdeka, gemuruh semangat serta kirap ribuan orang menyambut hari bahagia. Tapi ternyata tidak, Goenawan Mohamad menyebutnya "peristiwa kecil" karena memang hari itu, di depan sebuah gedung di Jalan Pegangsaan, hanya ada beberapa orang yang mendengarkan  Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Teks itupun tak lebih dari selembar kertas dengan beberapa coretan karena perubahan konsep.

Peristiwa kecil namun teramat berharga. Ribuan bahkan jutaan orang di tanah pertiwi setelah itu dengan suka rela mengorbankan jiwa mereka untuk mempertahankan makna dari peristiwa kecil itu. Indonesia terus bergolak, berganti penguasa dan terkadang harus mengalami kejatuhan korban di beberapa persimpangan sejarahnya. Namun tekad untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan tidak pernah pudar.

Lantas untuk siapa sebenarnya kemerdekaan yang tak henti kita perjuangkan? Apakah Soekarno-Hatta membacakan proklamasi untuk diri dan kelompok mereka saat itu? Atau untuk gemerlap kekayaan? Pasti, dan kita yakin, bukan! Kemerdekaan adalah suatu cita-cita yang selama ratusan tahun mengendap di hati para pemimpin karena milihat penderitaan rakyat dengan jiwa terjajah dan sebagai hamba di tanah sendiri. Kemerdekaan itu diperuntukkan bagi generasi penerus, anak-anak dengan jiwa yang bersih dan haus akan kasih sayang dan pendidikan. Mereka tidak ingin melihat anak-anak yang terus menghamba, bodoh, dan menderita di tanah kaya nenek moyangnya sendiri.

Saat ini, sering kita meremehkan hal-hal kecil yang bermakna besar. Terbius oleh gemerlap lampu-lampu kota dan acara televisi yang membingungkan orientasi manusia. Seperti ketika ibu-ibu yang mengeluh karena hanya menjadi ibu rumah tangga, mengurusi anak-anak tanpa penghasilan dan gelar profesional. Atau juga para teman guru di daerah terpencil yang sedih karena melihat anak-anak yang sangat sulit belajar. "Kenapa saya hanya melakukan hal-hal rutin yang tidak penting ini setiap hari?"

Penjajah adalah segala sesuatu yang membelenggu jiwa kita hingga tidak memiliki kemerdekaan untuk melihat yang subtansial. Bodoh dari kebenaran. Ia tidak hanya Portugis, Belanda atau Jepang yang membawa senjata lengkap dan menodongkannya ke kepala kita. Penjajah tidak harus orang asing. Demikian pula pahlawan bukan hanya orang-orang yang memanggul senapan atau bambu runcing dan merelakan dadanya tertembus peluru musuh. Siapapun yang berjuang demi kemerdekaan jiwa anak-anak dalam menghadapi kebodohan, rendah diri, putus asa dan malas adalah pahlawan yang sebenarnya di zaman ini. Termasuk ibu rumah tangga, guru, petani, buruh, tukang becak, pedagang hingga pejabat yang jujur.

Kalau saja kita benar-benar mengalami sendiri bagaimana pengorbanan jutaan jiwa demi "peristiwa kecil" di bulan Agustus, paradigma kita mengenai mendidik anak akan benar-benar berubah. 

No comments:

Post a Comment

Rekomendasi