Monday 4 January 2016

Bertemu Batas


Berjuta atau bahkan milyaran peristiwa kita lalui, hari demi hari, berganti bulan dan tahun. Kebermaknaan setiap pengalaman itu membuatnya tidak musnah, tapi abadi dalam abstraksi pikiran dan ingatan kita. Lebih banyak peristiwa yang luput dari konsentrasi kita, di sanalah rutinitas hidup seringkali menciptakannya. Hidup tapi seperti tidak hidup, tanpa makna.

Sebagai guru, tentu kita menginginkan keabadian itu. Terselip dalam ingatan dan kognisi siswa-siswa yang kita ajar. Baik pengetahuan yang kita sampaikan, pengalaman belajar mereka bersama kita, pujian, nasehat atau bahkan sanksi yang pernah kita berikan. Cita-cita guru yang memang benar guru adalah menjadi bagian dari kehidupan para siswa di masa depan.

Ada beberapa guru dan dosen yang tidak pernah lepas dari ingatan saya. Wajah, perkataan, atau momen-momen mereka bersama saya ketika belajar. Sosok-sosok itu menjadi inspirasi gaya dan cara hidup saya hingga sekarang. Rasanya tidak keliru jika saya pun menginginkan diri menjadi seorang guru atau dosen yang juga lekat dan menginspirasi para siswa dalam kehdupan mereka kelak. Membuat ilmu yang saya sedekahkan menjadi amal jariyah yang mudah-mudahan dapat terus berbunga walau kematian telah lama menjemput.

Keinginan-keinginan mulia toh seringkali menjadi penghalang kemuliaan seseorang. Keinginan yang tidak dilandasi kesadaran akan batasan-batasan yang kita miliki sebagai manusia. Seperti halnya guru, karena begitu inginnya "mendidik siswa" hingga ia melakukan berbagai cara yang mengharuskan siswa menelan semua kue dan batu yang disajikannya. Padahal siswa juga punya selera, punya imajinasi dan kreativitas sendiri yang harus kita beri ruang agar tumbuh berkembang.

Guru dan dosen yang berkesan mendalam dalam hidup saya, jika benar-benar diperhatikan, bukanlah orang-orang yang terlalu mendoktrin dengan keras. Kalau ada yang seperti itu, kesan yang ditimbulkan adalah trauma, walaupun tetap saya ingat namun bukan ingatan yang positif. Guru yang berkesan adalah mereka yang tahu kapan harus memberi arahan, larangan dan kapan harus membiarkan siswa melakukan sesuatu sesuai keinginan dan kemampuannya sendiri.

Saya teringat pada falsafah Tut Wuri Handayani Ki Hadjar Dewantara, atau gaya kepemimpinan para wali yang menurut Cak Nun adalah seperti pengembala bebek atau kambing (yang justru berada di belakang hewan-hewan yang digembala). Menjadi seorang pemimpin yang selalu di depan, guru yang tegas dengan perintah-perintah dan sanksinya akan menghasilkan kepatuhan dan keteraturan belajar yang nampak alias kasat mata. Orang-orang menjadi jelas kalau kita adalah pemimpin. Namun kalau hendak menjadi sosok yang terus menginspirasi siswa, sepertinya kita harus lebih sering memimpin dari belakang. Kalaupun di depan, bukan dengan perintah atau amarah tetapi memberi contoh atau teladan, ing ngarso sungtulodo.

Batas-batas yang kita temui bukan hanya sifat dan potensi siswa yang harus diberi ruang gerak, tapi juga diri kita sendiri sebagai manusia. Apakah anda yakin kalau semua yang anda berikan adalah benar tanpa kesalahan? Kita harus sadar akan kefanaan dan kekurangan (yang bahkan banyak sekali) kita miliki. Mengakui kesalahan atau kreativitas siswa yang lebih baik dari gurunya adalah beban yang lebih sulit. Untuk tugas berat itulah sepertinya kita dilatih rukuk dan sujud setiap hari.

3 comments:

Rekomendasi