Thursday, 28 January 2016

Mengagumi Socrates, Guru yang Mencintai Kebenaran



Hari itu salah seorang mahasiswa yang sudah menjadi guru mengeluh karena kondisi siswa-siswanya yang semakin sulit diarahkan. Sebagai guru ia merasa dirinya direndahkan. Sementara di sisi yang lain pihak sekolah tidak banyak mengambil tindakan tegas terhadap siswa-siswa yang bermasalah. Alasannya karena sekolah saat ini butuh siswa.

Menyampaikan kebenaran adalah tugas guru. Semua tahu itu, setiap hari juga begitu. Modal utama guru adalah lisannya. Dan kepercayaan siswa terhadap perkataan guru adalah keberhasilan tak ternilai dari kinerja seorang guru. 

Sokrates, guru Yunani terkenal yang hidup lebih dari dua ribu tahun yang lalu mengatakan bahwa hidup yang berharga adalah hidup yang teruji. Artinya semua kebaikan membutuhkan proses, tidak bisa instan, langsung ada seketika. Sebagai guru juga demikian. Anda tidak bisa langsung menjadi guru yang baik dan didengarkan siswa tanpa berproses dengan serius. Dalam proses itu seringkali muncul kesulitan dan kegagalan, itulah ujiannya.

Sokrates menjadi guru selama puluhan tahun dalam kondisi yang sulit karena ia mencintai pekerjaannya sebagai pencari kebenaran dan menyampaikannya. Bahkan kematian yang tragis, dihukum minum racun, juga karena kecintaannya pada kebenaran itu. 

Saya rasa tidak perlu sehebat itu untuk kita menjadi guru yang baik. Cukup menyadari bahwa untuk dapat diterima siswa kita harus banyak berusaha. Kalau masih belum berhasil, ya berusaha lagi.

Tuesday, 26 January 2016

Bangun Kebesaran Jiwa itu Sejak Belia, seperti Dewi Sartika



Pada usia sepuluh tahun ia telah membuat heboh masyarakat Cicalengka karena mengajari baca-tulis dan bahasa Belanda beberapa anak pembantu kepatihan. Tentu saja gempar, karena di zaman penjajahan kemampuan baca-tulis adalah langka, apalagi untuk anak pembantu atau rakyat jelata. Kita tidak dapat melihatnya dari kacamata saat ini, dimana sekolah sudah wajib untuk semua anak yang hidup bumi pertiwi.

Namanya Dewi sartika, atau Raden Dewi Sartika, lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 dan meninggal pada tahun 1947 di Tasikmalaya. Perjuangannya untuk meningkatkan pendidikan bagi perempuan Indonesia telah tumbuh subur sejak kecil, dibuktikan oleh peristiwa di atas. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan yang dibuang ke Pulau Ternate oleh penjajah Belanda. Berbeda dengan kebiasaan tersebut, sang ayah memaksa untuk menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah Belanda untuk juga belajar seperti anak laki-laki. Umumnya berdasarkan adat yang bersekolah saat itu adalah anak laki-laki keturunan bangsawan atau pegawai Belanda. Sedangan anak perempuan tidak demikian.

Keputusan dan jiwa pejuang sang ayah membekas kuat dalam jiwa Dewi Sartika. Sejak kecil ia tidak hanya berkeinginan untuk hidup enak sendiri, melainkan sangat memikirkan kepentingan masyarakat banyak. Sepanjang hidupnya dipergunakan oleh DewI Sartika untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan melalui sekolah yang didirikannya selama lebh dari 25 tahun.

Cita-cita mulia Dewi Sartika bukan membuat perempuan menjadi seperti laki-laki. Ia berpandangan bahwa setiap perempuan adalah ibu rumah tangga yang merupakan cikal-bakal tumbuhnya semua manusia. Karena itu mereka semua haruslah pintar dan berpandangan luas. Untuk itu perempuan juga harus mengenyam sekolah.

Dewi Sartika bukan hanya guru. Ia adalah seorang guru berjiwa besar, menyerap semangat kepahlawanan sang ayah yang telah menginginkan dirinya tidak seperti perempuan bangsawan biasa di zaman itu. Melainkan menjadi perempuan yang sanggup memberikan sesuatu yang besar bagi masyarakat dan bangsanya. Walaupun tidak dengan mengangkat senjata atau menekuni bidang politik. Perjuangannya juga dibantu sang kakek R.A.A. Martanegara, dan suaminya Raden Kanduruan Agah Suriawinata.

Dari cerita ini kita sadar bahwa kebesaran jiwa tidak secara instan terbentuk. Sejak belia, orang tua, keluarga dan guru adalah lahan dan ekologi tumbuhnya kemuliaan itu.


Rujukan:

www.biografiku.com

Rekomendasi